
Pantau - Pengamat sosial dari Universitas Gadjah Mada (UGM), R. Derajad Sulistyo Widhyharto, mengingatkan pentingnya menjaga empati dalam membuat narasi digital, terutama untuk konten yang menyangkut isu sensitif seperti kriminalitas atau peristiwa dengan korban jiwa.
"Dalam dunia digital saat ini, kecepatan menyebarkan informasi sering kali mengalahkan kepekaan terhadap manusia di balik peristiwa itu. Padahal, konten yang baik bukan hanya informatif, tetapi juga berperasaan. Ketika kita membahas isu-isu sensitif seperti kasus kriminal atau peristiwa yang melibatkan korban jiwa, ada tanggung jawab moral yang harus dijaga, bagaimana menyampaikan fakta tanpa melukai rasa kemanusiaan," ungkapnya.
Derajad menekankan bahwa korban dalam kasus kriminal harus diposisikan sebagai manusia, bukan objek pemberitaan atau sumber sensasi.
Narasi Kriminal Butuh Kepekaan dan Edukasi Publik
Dalam penyusunan konten bertema kriminal, Derajad menyarankan agar pembuat konten menghindari tayangan yang mengeksploitasi penderitaan, seperti memperlihatkan tubuh korban, memamerkan kesedihan keluarga, atau menyebarkan gambar yang mempermalukan.
"Berfokuslah pada pesan edukatif, misalnya tentang pentingnya keselamatan, keadilan, atau solidaritas sosial, sehingga publik mendapat pelajaran tanpa harus mengorbankan martabat seseorang," ujarnya.
Ia menambahkan, narasi juga harus ditulis dengan diksi yang empatik, tidak menghakimi, serta tidak memelintir fakta.
Dalam kasus-kasus kriminal, penting bagi pembuat konten untuk memberikan analisis yang seimbang, menyentuh akar permasalahan, sistem hukum, atau dampak sosial dari kejadian tersebut, bukan hanya menyajikan kronologi secara sensasional.
Derajad juga menekankan perlunya memberi ruang bagi empati, seperti menunggu informasi yang valid dan menghargai proses keluarga korban dalam berdamai dengan situasi.
"Konten yang berempati bukan berarti kehilangan daya tarik, justru sebaliknya, ia membangun kepercayaan dan kredibilitas yang jauh lebih dalam di mata publik. Karena di balik setiap layar, selalu ada hati dan rasa kemanusiaan yang harus dijaga," katanya.
Media Sosial Sebagai Ruang Ekspresi dan Kontrol Sosial Baru
Derajad menjelaskan bahwa media sosial saat ini telah menjadi ruang partisipasi publik yang dinamis, tempat masyarakat menampilkan diri, menyampaikan gagasan, hingga memperjuangkan isu sosial.
Menurutnya, aktivitas mengunggah konten bukan hanya sarana berbagi, tetapi juga menjadi ekspresi identitas dan pencarian pengakuan sosial.
"Kita sedang menyaksikan pergeseran nilai dari being ke showing, dari mengalami menjadi menampilkan. Momen-momen kehidupan sering kali kehilangan kedalaman karena lebih diarahkan untuk menjadi konten ketimbang pengalaman. Di titik ini, media sosial tidak hanya menjadi sarana komunikasi, tetapi juga mekanisme kontrol sosial baru di mana algoritma, opini publik, dan tekanan sosial membentuk perilaku manusia," jelasnya.
Ia menyebut fenomena serba unggah (upload culture) sebagai bentuk cultural citizenship, yaitu cara warganet menyatakan keberadaan dan suara mereka di ruang publik digital.
Banyak anak muda kini memanfaatkan media sosial untuk berkreasi, mengedukasi, bahkan mengorganisir perubahan sosial.
Namun, tantangan terbesar menurut Derajad bukanlah menolak media sosial, melainkan membangun kesadaran kritis agar setiap ekspresi digital bisa otentik dan bermakna.
Ia menegaskan pentingnya menjaga jati diri dan nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap interaksi di ruang digital.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf








