
Pantau - Akhir tahun sering kali identik dengan tiga hal: liburan, refleksi diri, dan pesta, yang seolah berubah dari pilihan pribadi menjadi ritual sosial yang dianggap wajib oleh masyarakat.
Kalender yang menipis, hujan yang lebih sering turun, dan unggahan koper, tiket, serta foto kebersamaan di media sosial memperkuat norma bahwa pergantian tahun harus dirayakan secara aktif.
Ada kesepakatan sosial tak tertulis bahwa seseorang sebaiknya berlibur untuk menunjukkan keberhasilan, merefleksikan diri sebagai simbol kedewasaan, dan berpesta sebagai bentuk perayaan atas hidup.
Aktivitas ini tak lagi sekadar pengalaman personal, tetapi menjadi pesan sosial yang disiarkan kepada publik.
Orang yang memilih untuk tidak ikut serta sering kali merasa perlu memberikan pembenaran, seolah ketidakaktifan adalah sesuatu yang harus dijelaskan.
Akhir tahun pun beralih dari ruang memilih menjadi ruang mengikuti—sebuah tekanan sosial yang tidak tertulis namun nyata.
Liburan dan Refleksi: Antara Pemulihan dan Performa Sosial
Dalam perspektif sosiologi, liburan bukan sekadar aktivitas rekreasi, melainkan praktik sosial dengan makna simbolik.
Menurut Pierre Bourdieu, gaya hidup termasuk cara berlibur adalah pembeda kelas dan posisi sosial.
Objek wisata, gaya perjalanan, hingga narasi yang dibagikan menjadi bentuk modal simbolik yang bisa “ditukar” dalam ruang sosial, termasuk media sosial.
Alih-alih menjadi ruang pemulihan, liburan kerap berubah menjadi beban performatif yang melelahkan.
Refleksi akhir tahun pun tidak luput dari pergeseran makna.
Proses yang seharusnya bersifat internal justru dibagikan sebagai laporan publik untuk membangun citra pribadi.
Erving Goffman menyebut fenomena ini sebagai self-presentation, yaitu cara individu membentuk kesan di mata orang lain.
Akibatnya, refleksi tidak lagi memberi ruang bagi ambiguitas dan luka, karena dituntut untuk selalu tampak matang dan inspiratif.
Keduanya—liburan dan refleksi—berfungsi sebagai modal sosial, tempat individu membandingkan pencapaiannya dengan orang lain secara halus namun intens.
Akhir tahun pun menjadi panggung untuk menunjukkan versi diri yang paling bisa diterima oleh publik.
Kejujuran yang Tertunda di Tengah Pesta
Pesta akhir tahun menjadi puncak dari rangkaian simbolis tersebut, yang menandai penutupan siklus hidup dan selebrasi menuju awal baru.
Namun, bagi sebagian orang, pesta juga menjadi bentuk pelarian dari jeda dan keheningan yang seharusnya menjadi ruang kejujuran.
Keramaian kadang dimanfaatkan untuk menutupi kenyataan batin yang belum selesai atau tidak siap dihadapi.
Banyak yang tidak sempat bertanya: apakah tahun ini sungguh berjalan baik?
Alih-alih istirahat, tekanan untuk terus tampil bahagia justru mempertebal kelelahan emosional.
Tidak semua tahun perlu dirayakan dengan pesta.
Ada tahun yang lebih layak ditutup dengan keheningan dan penerimaan.
Kejujuran tentang kegagalan dan rasa lelah sering kali lebih relevan dibanding memaksakan kebahagiaan palsu.
Budaya akhir tahun yang dibentuk oleh media dan masyarakat jarang memberi ruang untuk itu.
Hidup tidak selalu mengikuti kalender secara sempurna—banyak yang masih belum selesai, belum tercapai, belum pulih, dan itu sepenuhnya manusiawi.
Penutup: Bertahan Adalah Bentuk Pencapaian
Akhir tahun seharusnya menjadi ruang refleksi yang personal dan jujur, bukan panggung evaluasi publik atau keharusan kolektif untuk merayakan.
Tahun baru hanyalah penanda administratif, bukan ukuran keberhasilan.
Yang paling penting adalah bagaimana kita memperlakukan diri sendiri.
Jika ada satu hal yang pantas dibawa ke tahun berikutnya, bukanlah resolusi besar, tetapi keberanian untuk berkata: tahun ini melelahkan, dan itu sah.
Bertahan pun adalah bentuk pencapaian.
Tidak semua hal perlu dirayakan—sebagian cukup diterima dengan jujur.
- Penulis :
- Gerry Eka







