
Pantau.com - Aturan ambang batas pencalonan presiden atau presidential treshold yang diatur pada pasal 222 Nomor 7 Tahun 2017 dinilai cenderung menimbulkan kapitalisasi pemilu. Ambang batas 20 persen yang telah ditentukan itu bisa berakibat menggugurkan moralitas demokrasi.
"Pasal 222 itu ada unsur kapitalisasi Pemilu dengan prosentase 20 persen dan itu menggugurkan moralitas demokrasi yang menjadi sendi dari negara hukum. Negara hukum itu punya sendi dua. Satu demokrasi, dua human right. Nah dengan 20 persen itu demokrasi di bom," kata mantan Wakil ketua KPK Busyro Muqoddas dalam diskusi 'Hapus Ambang Batas Nyapres' di kantor PP Muhammdiah, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (31/7/2018).
Busyro beranggapan seharusnya Undang-Undang tentang pemilu mampu mencerminkan moral konstitusi negara. Pemilu 2019 harusnya bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk memberikan contoh kejujuran kontitusional.
Baca juga: Belasan Orang Datangi MK Gugat Presidential Threshold
Diketahui Busyro merupakan salah satu akademisi yang ikut mengajukan uji materi terhadap pasal 222 no 7 tahun 2017 tentang presidential treshold ke Mahkamah Konstitusi. Menurutnya UU tersebut tidak ada pemberdaulatan pemilu.
"Pasal 222 no 7 tahun 2017 harusnya memiliki muatan moralitas yang cerminkan kedaulatan pemilu itu sendiri. Tapi kenyataannya tidak. Beberapa argumen yang kami ajukan menunjukan hal itu. Karena ada indikasi yang makin kuat tidak ada pemberdaulatan pemilu," jelasnya.
Busyro pun meragukan kualitas Pemilu 2019 apakah bisa benar-benar mencerminkan demokrasi dan tidak dipengaruhi dengan praktik politik uang.
"Apakah nanti pemilu menghasilkan Pemilu yang betul-betul bisa diukur? Ini berdasarkan kejernihan berpikir dan tidak dipengaruhi oleh praktek money politic. Ini pertanyaan besar. Jawaban yang paling depan itu adalah dari sembilan hakim MK, para negarawan yang kita hormati," pungkasnya.
- Penulis :
- Dera Endah Nirani