
Pantau.com - Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan tegas menolak pengesahan pernikahan beda agama, dalam uji materi UU Perkawinan yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK).
Syaeful Anwar selaku Wakil Ketua Komisi Hukum dan HAM MUI menyampaikan keterangan MUI di MK, Rabu (15/6/2022), "Ketentuan Pasal 2 ayat 1, Pasal 2 ayat 2, dan Pasal 8 huruf f Ketentuan Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 serta Pasal 8 huruf f UU Perkawinan adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena telah mendapatkan authoritative sources yang kuat, yaitu berdasarkan Alinea Ketiga dan Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, dan 20 Pasal 29 ayat 1, dan ayat 2 Undang-Undang Dasar Tahun 1945."
"Oleh karena itu, MUI memohon agar MK berkenan memeriksa dan memutus dengan amar putusan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," lanjut Syaeful.
Diketahui bahwa MUI selaku pihak terkait dalam gugatan yang diajukan oleh seseorang bernama E Ramos Petege ini.
E Ramos Petege diketahui seorang pemeluk agama Katolik yang ingin menikah dengan perempuan beragama Islam, namun harus dibatalkan karena pernikahan beda agama tidak diwadahi oleh UU Perkawinan. Ia pun merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan karena tidak dapat melangsungkan pernikahannya.
Menurut MUI, perkawinan bukan hanya soal hukum keperdataan, namun juga hukum agama. Keinginan dari pemohon untuk mengesahkan perkawinan beda agama membuat bangsa Indonesia kembali ke masa kolonial.
Syaeful mengatakan bahwa perkawinan hanya bersifat umum dengan pengesahan yang mengesampingkan hukum agama.
Terkait hubungan antara isu HAM dalam hukum perkawinan yang dipermasalahkan pemohon, MUI menilai bahwa budaya Indonesia tidak sama dengan negara-negara lain, Indonesia tidak menganut HAM yang sebebas itu.
Syaeful menegaskan bahwa MUI justru berpandangan bahwa seharusnya bangsa Indonesia menghormati perjuangan pendahulu negara dalam membahas UU Perkawinan ini, yang pada saat penyusunannya sampai nyaris menimbulkan perpecahan negara.
Arovah Windiani selaku Wakil Sekretaris Komisi Hukum dan HAM MUI dalam kesempatan yang sama, mengatakan bahwa MUI, sebagai suatu badan hukum yang diakui secara sah, berfungsi sebagai pemberi fatwa kepada umat Islam, negara, dan pemerintah.
Oleh sebab itu, MUI merupakan wadah yang mewakili umat Islam dalam hubungan dan konsultasi antarumat beragama.
"Karena itu, permohonan ini jelas akan berpengaruh pada tugas pokok dan fungsi serta peran MUI," jelas Arovah.
Helmi Al Djufri, seorang anggota Komisi MUI lainnya, menyatakan negara mengatur ketentuan mengenai perkawinan hanya untuk menghormati hukum agama dan kepercayaan dari masing-masing umat beragama di Indonesia.
Apalagi, perkawinan sejatinya wadah pertama dalam pembentukan keluarga, sehingga negara berperan menghormati hal tersebut. MUI menilai bahwa pemohon salah jika berfikir negara menghambat keinginan HAMnya dengan tidak mengakui perkawinan beda agama.
Menurut Helmi, dalam hukum Indonesia, agama berperan dalam membentuk perundang-undangan. Oleh sebab itu, sangat kontradiktif jika ajaran agama dibebaskan untuk mengesampingkan ajaran agama. Terutama, eksistensi MK adalah sebagai penjaga ideologi.
"Maka argumentasi Pemohon yang meminta pengesahan perkawinan beda agama ini membuka peluang penyelundupan hukum bagi calon mempelai. Jadi dalil ini bukan persoalan konstitusionalitas norma," jelas Helmi.
Syaeful Anwar selaku Wakil Ketua Komisi Hukum dan HAM MUI menyampaikan keterangan MUI di MK, Rabu (15/6/2022), "Ketentuan Pasal 2 ayat 1, Pasal 2 ayat 2, dan Pasal 8 huruf f Ketentuan Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 serta Pasal 8 huruf f UU Perkawinan adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena telah mendapatkan authoritative sources yang kuat, yaitu berdasarkan Alinea Ketiga dan Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, dan 20 Pasal 29 ayat 1, dan ayat 2 Undang-Undang Dasar Tahun 1945."
"Oleh karena itu, MUI memohon agar MK berkenan memeriksa dan memutus dengan amar putusan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," lanjut Syaeful.
Diketahui bahwa MUI selaku pihak terkait dalam gugatan yang diajukan oleh seseorang bernama E Ramos Petege ini.
E Ramos Petege diketahui seorang pemeluk agama Katolik yang ingin menikah dengan perempuan beragama Islam, namun harus dibatalkan karena pernikahan beda agama tidak diwadahi oleh UU Perkawinan. Ia pun merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan karena tidak dapat melangsungkan pernikahannya.
Menurut MUI, perkawinan bukan hanya soal hukum keperdataan, namun juga hukum agama. Keinginan dari pemohon untuk mengesahkan perkawinan beda agama membuat bangsa Indonesia kembali ke masa kolonial.
Syaeful mengatakan bahwa perkawinan hanya bersifat umum dengan pengesahan yang mengesampingkan hukum agama.
Terkait hubungan antara isu HAM dalam hukum perkawinan yang dipermasalahkan pemohon, MUI menilai bahwa budaya Indonesia tidak sama dengan negara-negara lain, Indonesia tidak menganut HAM yang sebebas itu.
Syaeful menegaskan bahwa MUI justru berpandangan bahwa seharusnya bangsa Indonesia menghormati perjuangan pendahulu negara dalam membahas UU Perkawinan ini, yang pada saat penyusunannya sampai nyaris menimbulkan perpecahan negara.
Arovah Windiani selaku Wakil Sekretaris Komisi Hukum dan HAM MUI dalam kesempatan yang sama, mengatakan bahwa MUI, sebagai suatu badan hukum yang diakui secara sah, berfungsi sebagai pemberi fatwa kepada umat Islam, negara, dan pemerintah.
Oleh sebab itu, MUI merupakan wadah yang mewakili umat Islam dalam hubungan dan konsultasi antarumat beragama.
"Karena itu, permohonan ini jelas akan berpengaruh pada tugas pokok dan fungsi serta peran MUI," jelas Arovah.
Helmi Al Djufri, seorang anggota Komisi MUI lainnya, menyatakan negara mengatur ketentuan mengenai perkawinan hanya untuk menghormati hukum agama dan kepercayaan dari masing-masing umat beragama di Indonesia.
Apalagi, perkawinan sejatinya wadah pertama dalam pembentukan keluarga, sehingga negara berperan menghormati hal tersebut. MUI menilai bahwa pemohon salah jika berfikir negara menghambat keinginan HAMnya dengan tidak mengakui perkawinan beda agama.
Menurut Helmi, dalam hukum Indonesia, agama berperan dalam membentuk perundang-undangan. Oleh sebab itu, sangat kontradiktif jika ajaran agama dibebaskan untuk mengesampingkan ajaran agama. Terutama, eksistensi MK adalah sebagai penjaga ideologi.
"Maka argumentasi Pemohon yang meminta pengesahan perkawinan beda agama ini membuka peluang penyelundupan hukum bagi calon mempelai. Jadi dalil ini bukan persoalan konstitusionalitas norma," jelas Helmi.
- Penulis :
- St Fatiha Sakinah Ramadhani