
Pantau.com - Banyak orang mempertanyakan 'Mengapa Pilpres selalu nampak seperti Pertaruhan?', termasuk pertanyan itu dilontarkan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman yang menginginkan Pilpres yang damai.Tetapi berbeda dengan Pengamat Politik Henry Satrio yang menilai hal itu wajar, karena menurutnya ada tujuh faktor yang buat fenomena itu terjadi di Indonesia. Berikut adalah alasan mengapa Pilpres jadi ajang pertaruhan. 1. Masyarakat Tekotak-Kotak
'Luka lama' yang masih menganga sejak Pemilu 2014 dan Pilkada DKI 2017 jadi faktor utama tebuatnya masyarakta menjadi terpecah belah. Sayangnya pada acara launching 'Kampanye Damai', Minggu, 23 September 2018, KPU malah fokus kepada 'kampanye budaya' dengan kostum dan sebagainya."KPU fokus utama kampanye budayanya, dibanding urutan peserta pemilu dan urutan parpol-parpolnya, Pembicaraan logo dan lambang jadi tidak ada, padahal masyarakat ingin melihat parpol berjalan bersama, yang ada waktu itu Pak Jokowi jalan duluan dan pak Prabowo jalan duluan, yang paling inisiatif itu Pak Jokowi dan Prabowo bergandengan saat turun," ujar Henry dalam sebuah acara diskusi di Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (29/9.2018).2. Masalah Relawan
Henry meyakini, para parpol dan peserta pemilu mungkin sibuk sendiri dengan bagaimana cara untuk menang, tapi jarang yang tau apa yang dilakukan relawan agar calon yang didukungnya menang, yang terkadang rela melakukan segala cara seperti menebar hoax dan atau kampanye hitam. "KPU dan Bawaslu mungkin bisa tangani capres dan cawapres dan caleg-caleg, tapi kita nggak bisa kontrol relawan justru relawan ini yang sangat berperan, caleg-caleg ini sibuk sendiri untuk gimana caranya dapat kursi," jelasnya.3. Partisipasi Survei
Sebagai pendiri lembaga survei, Henry juga tak menampik, apa yang disampaikan lemba survei tak sepenuhnya benar, "Itu perlu disurvei, apakah itu akan di survei, itu selalu menunjukkan angka 90 persen, begitu kenyataannya 70-80 persen,"papar dia."Jangan-jangan masyarakat yang ingin berpartisipasi tapi ada kendala, atau kendala finansial, ini yang perlu ansisipasi juga, hasil survei kedai kopi lebih dari sepertiga oke-oke aja sama politik uang. Itu juga harus dipertimbangkan," lanjutnya.4. Kepemilikan Media
Era pasar bebas, Henry kini mulai tak yakin media masih dapat dikategorikan sebagai pilar keempat demokrasi, pasalnya pengaruh kepemilikan media terkadang membuat pemberitaan cenderung berat sebelah sehingga Pilpres 2019 jadi ujian yang besar bagi sebuah media.5. Kesiapan IT
"Waktu 2018 pernah ketemu servernya, pada saat (Pilkada) Jabar itu nggak boleh lagi, kerjasama dengan BSSN, supaya kuat, kan kita masih ada hantu apakah itu benar, pesannya Akbar Faisal tentang tarik-tarik data (di KPU) ini, belum diluruskan. IT ini jadi hal penting karena ada manual dan IT," terang Henry.6. Petahana Diuntungkan
Henry mengatakan, KPU dan Bawaslu memiliki PR untuk mengatur seperti apa dan sejauh apa petahan dapat menggunakan hasil kerjanya sebagai ajang kampanye, disisi lain ia mengkritik sebuah iklan pembangunan bendungan yang menunjukkan foto Jokowi. "Keuntungan petahana harusnya diatur, apakah petahana boleh sampaikan pembangunannya, bendungan itu tidak sekedap jadi itu ada prosesnya, perlu nggak ada sosok Jokowi di iklan itu, saya rasa nggak perlu ada karena masyarakat tau presidennya Jokowi," ungkapnya.7. Capres yang Sama, Cawapres Wajah Baru
Sehingga jangan heran ketika Pilpres 2019 nanti, masyrakat akan menyoroti sosok cawapresnya yang berhasil mencuri perhatian masyarakat, karena latar belakang yang berbeda. Jokowi dan Prabowo tidak lagi menjadi sorotan karena sudah dikenal sejak Pilpres 2014 silam."Saat ini perhatiannya ke cawapres, Bang Luhut apa yang akan diubah ke Kiayi Maruf diubah menjadi lincah seperti Sandiaga Uno, Kiayi Ma'ruf tidak perlu diubah," ucapnya."Mas Sandi terlalu pecicilan juga bahaya, Sandi sambutannya cukup baik, Pak Ma'ruf juga cukup baik, sebuah kampanye cerdas untuk angkat Kiayi Ma'ruf perlu ada nama yang tepat, juga untuk suara Sandiaga Uno," tutupnya.
- Penulis :
- Tatang Adhiwidharta