
Pantau - PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) memproyeksikan pasar surat utang korporasi masih cukup solid sepanjang tahun 2025, dengan estimasi penerbitan baru mencapai kisaran Rp139,29 triliun hingga Rp155,43 triliun.
Pefindo memperkirakan titik tengah penerbitan tahun ini berada di angka Rp143,91 triliun, menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap daya serap pasar dalam negeri.
"Kami masih belum mengubah proyeksi tersebut. Memang kalau kita lihat, realisasi di kuartal pertama ini cukup baik penerbitannya, bahkan bisa dibilang sangat baik karena tumbuhnya signifikan sekali dari yang sebelumnya hanya Rp26,35 triliun tumbuh menjadi Rp46,75 triliun atau kenaikannya sekitar 77,4 persen secara year on year," ujar Suhindarto, Kepala Divisi Riset Ekonomi Pefindo, dalam konferensi pers virtual di Jakarta.
Kebutuhan refinancing yang tinggi menjadi peluang utama penerbitan surat utang tahun ini, menyusul jatuh temponya obligasi tenor pendek senilai Rp161,22 triliun.
Banyak korporasi yang memilih tenor satu tahun pada 2024 agar dapat melakukan refinancing di 2025 dengan kupon yang lebih rendah jika pelonggaran moneter benar terjadi.
"Ketika mereka surat utangnya jatuh tempo di tahun ini, dengan adanya prospek pelonggaran moneter yang lebih jauh di tahun ini, mereka bisa me-refinancing surat utang tersebut dengan yang kuponnya lebih rendah," jelas Suhindarto.
Tantangan Global dan Persaingan Instrumen Keuangan
Meski peluang terbuka, Pefindo mencatat sejumlah tantangan signifikan yang bisa memengaruhi dinamika pasar surat utang.
Tantangan pertama datang dari risiko geopolitik global, seperti konflik di Timur Tengah dan Eropa Timur, yang meningkatkan ketidakpastian pasar keuangan.
Tantangan kedua adalah perlambatan pelonggaran moneter global dan ketidakpastian kebijakan ekonomi dunia, termasuk perang dagang.
Selain itu, rencana pemerintah untuk meningkatkan penerbitan surat utang negara bisa menahan penurunan yield obligasi, sehingga memengaruhi potensi penurunan kupon di pasar korporasi.
"Dengan yield yang tertahan lebih jauh, maka ini akan menjadi risiko bagi pembentukan kupon di market untuk bisa turun lebih jauh," kata Suhindarto.
Investor saat ini juga lebih selektif, menghindari surat utang berperingkat BBB ke bawah dan sektor tertentu, yang membatasi ruang gerak penerbitan dari emiten kecil atau berisiko tinggi.
Sementara itu, persaingan dari instrumen substitusi seperti Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan Surat Utang Negara (SUN) turut membatasi daya tarik obligasi korporasi.
Pefindo juga menyoroti perlambatan pertumbuhan gross national saving rate dibandingkan penerbitan surat utang pemerintah, yang berpotensi mengurangi daya serap pasar terhadap obligasi dari sektor swasta.
Meski demikian, sektor riil dinilai masih solid karena ditopang konsumsi dan investasi dalam negeri, dan perusahaan diperkirakan akan lebih banyak mencari pendanaan lokal karena tingginya volatilitas global.
- Penulis :
- Pantau Community