
Pantau - Usulan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (Demul) untuk mengirim anak-anak yang dianggap nakal ke barak militer menuai kontroversi karena dinilai menggantikan esensi pendidikan dengan pendekatan militeristik yang tidak menyentuh aspek pembelajaran secara menyeluruh.
Pengalaman serupa di Kabupaten Purwakarta menunjukkan bahwa pelatihan militer selama dua minggu tidak cukup membentuk karakter anak secara utuh.
Materi pelatihan yang lebih fokus pada fisik dan kedisiplinan dinilai mengabaikan pembelajaran akademik serta pemahaman kebangsaan yang mendalam.
Pendekatan seperti ini bertentangan dengan filosofi Ki Hajar Dewantara yang menekankan pendidikan humanis, partisipatif, dan mendidik anak sesuai kodratnya, bukan berdasarkan struktur hierarki.
Pendidikan Karakter Tak Bisa Digantikan Latihan Militer
Banyak pihak mengkritik kecenderungan orang tua menyerahkan tanggung jawab pendidikan anak kepada institusi militer, alih-alih memperkuat peran sekolah dan keluarga.
Militer seharusnya dipandang sebagai hasil dari proses pendidikan, bukan sebagai lembaga utama dalam membentuk karakter anak.
Label “anak nakal” pun dinilai tidak adil dan terlalu menyederhanakan masalah; istilah yang lebih tepat adalah anak dengan energi besar dan potensi kreatif yang belum diarahkan secara optimal.
Bahkan anak-anak yang sering ke ruang Bimbingan Konseling (BK) seharusnya tidak dicap bermasalah, sebab BK juga berfungsi sebagai pembimbing karier dan pengembangan diri.
Prinsip pendidikan seharusnya menempatkan anak pada posisi sesuai dengan potensi dan minatnya — the right man in the right place.
Aktivis perlindungan anak Kak Seto juga mengingatkan bahwa prinsip ramah anak harus tetap dijaga, bahkan dalam konteks lingkungan barak militer.
Pendidikan yang baik harus memperhatikan aspek psikologis anak dan menjunjung tinggi nilai kesetaraan gender.
Ironi pun muncul ketika sebagian orang tua memprotes guru yang bersikap keras, namun bisa menerima perlakuan keras dari militer terhadap anak-anak mereka.
Masalah ini juga tidak terlepas dari lemahnya perlindungan terhadap guru dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yang masih membuka ruang bagi kekerasan di sekolah.
Sebagai perbandingan, Finlandia berhasil mengatasi perundungan di sekolah melalui program KiVa yang menekankan empati, pelaporan anonim, dan pelatihan guru secara intensif.
Swedia dan Norwegia menerapkan pendekatan keadilan restoratif yang menekankan pada dialog, pengakuan kesalahan, dan pemulihan moral anak — bukan hukuman fisik.
Redesain Kurikulum dan Perluasan Pendekatan Inklusif
Pemerintah didorong untuk melakukan re-desain kurikulum agar siswa dapat mendalami bidang yang sesuai dengan bakat dan potensinya, bukan hanya menjejalkan pengetahuan umum yang seragam.
Istilah “anak nakal” seharusnya diganti dengan pendekatan yang mendorong pengembangan kegiatan praktis yang sesuai minat dan kecenderungan anak.
Sekolah juga perlu menyadari bahwa tidak semua siswa harus unggul dalam semua mata pelajaran, dan perbedaan bakat serta kemampuan harus dihargai.
Anak perlu didampingi untuk menemukan passion dan arah studi yang tepat sejak dini agar bisa berkembang secara optimal.
Pendidikan berbasis kedisiplinan militer bisa diterapkan secara terbatas, namun harus dilengkapi dengan materi akademik dan intelektual yang relevan.
Disiplin memang berguna, tetapi tidak cukup; siswa tetap membutuhkan pembelajaran yang membekali mereka dengan pengetahuan dan keterampilan kompetitif.
Pendidikan ala militer sebaiknya diposisikan sebagai pelengkap bagi sistem pembelajaran terbuka dan menyenangkan, bukan menjadi pelarian dari tanggung jawab sekolah formal.
- Penulis :
- Balian Godfrey
- Editor :
- Ricky Setiawan








