
Pantau - Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) menyatakan bahwa kebijakan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) bukan merupakan hambatan pasar, melainkan solusi penting untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat dalam industri tekstil nasional.
Ketua APSyFI, Redma Gita Wirawasta, menyampaikan pernyataan tersebut dalam keterangan pers di Jakarta, Selasa, 27 Mei 2025.
"Harusnya kan persaingan usaha itu sehat, ya. Dan dalam konteks ini, pemerintah, khususnya Kementerian Perdagangan (Kemendag) sudah menjalankan tugasnya. Mereka sudah menganalisis, mencari bukti, dan akhirnya terbukti bahwa memang ada praktik dumping," ujar Redma.
Pernyataan ini muncul sebagai tanggapan atas kekhawatiran sejumlah pihak, termasuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), terhadap rencana kenaikan BMAD untuk produk polyester oriented yarn (POY) dan draw textured yarn (DTY).
BMAD Dinilai Penting Pulihkan Industri yang Terpukul Dumping
APSyFI menilai bahwa praktik dumping telah merusak ekosistem industri tekstil nasional dan kebijakan BMAD justru menjadi langkah pemulihan yang dibutuhkan.
Menurut Redma, dumping merupakan praktik usaha tidak sehat yang membuat banyak perusahaan dalam negeri terpaksa menghentikan produksi karena kalah bersaing dengan harga murah impor.
Penerapan BMAD dilakukan berdasarkan hasil penyelidikan resmi dari Komite Anti Dumping Indonesia (KADI), lembaga pemerintah yang berwenang menangani kasus dumping.
"Ini bukan cuma opini kita. Ini sudah dibuktikan sama otoritas pemerintah (KADI), institusi yang memang punya wewenang dan koridor hukumnya. Jadi mereka punya landasannya," tegas Redma.
Tujuan dari kebijakan BMAD adalah untuk menghidupkan kembali perusahaan tekstil lokal yang sebelumnya berhenti produksi akibat tidak mampu bersaing.
"Justru kita minta diberlakukan anti-dumping supaya kondisi ini bisa dibalik. Supaya perusahaan-perusahaan yang tadinya mati itu bisa aktif lagi. Jadi pasar nggak lagi didominasi satu pemain saja," tambahnya.
Dengan kebijakan ini, produksi POY nasional diperkirakan akan meningkat hingga 430 ribu ton per tahun.
Dari total tersebut, sekitar 300 ribu ton akan digunakan untuk kebutuhan produksi internal anggota APSyFI, dan sisanya sekitar 130 ribu ton akan dijual ke pasar domestik untuk menggantikan produk impor.
"Kalau tiga perusahaan yang dulu mati itu hidup lagi, mereka bisa produksi total 430 ribu ton. Sebagian buat mereka sendiri, dan sebagian bisa gantiin impor yang sekarang masih masuk 130 ribu ton," tutup Redma.
- Penulis :
- Balian Godfrey








