
Pantau - Produk Domestik Bruto (PDB) telah lama dijadikan indikator utama dalam mengukur keberhasilan ekonomi sebuah negara, termasuk di Indonesia, namun kini semakin banyak ekonom yang mempertanyakan relevansinya sebagai cermin kesejahteraan masyarakat secara utuh.
Pertumbuhan Ekonomi Tak Selalu Sejalan dengan Kesejahteraan
PDB Indonesia pada tahun 2024 tercatat sebesar Rp22.139 triliun atau sekitar 1,54 triliun dolar AS.
Dengan angka ini, Indonesia menempati posisi sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan peringkat ke-16 dunia secara nominal.
Pertumbuhan ekonomi pada tahun tersebut mencapai 5,03 persen, menunjukkan stabilitas di tengah ketidakpastian global.
Namun, angka pertumbuhan tersebut menyembunyikan sejumlah kerentanan struktural, seperti ketimpangan pendapatan, kerusakan lingkungan, dan kualitas pekerjaan yang belum merata.
Ekonom peraih Nobel, Amartya Sen, mengingatkan bahwa deskripsi ekonomi selalu merupakan hasil dari pilihan atas apa yang ditampilkan dan disembunyikan.
Penekanan berlebih pada pertumbuhan PDB berisiko menutupi aspek kesejahteraan penting lainnya, seperti kualitas pendidikan, akses kesehatan, partisipasi politik, dan kelestarian lingkungan.
Tiga Masalah Fundamental dalam Menjadikan PDB sebagai Ukuran Kesejahteraan
PDB Mengaburkan Ketimpangan
PDB tidak memberikan gambaran mengenai distribusi pendapatan.
Gini ratio Indonesia pada 2024 masih tinggi, yaitu 0,381.
Penduduk miskin tercatat sebanyak 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa.
Joseph Stiglitz dalam bukunya Freefall (2010) menyebut bahwa pertumbuhan PDB yang tinggi bisa berlangsung seiring dengan peningkatan ketimpangan.
PDB per kapita Indonesia pada 2023 mencapai 4.960 dolar AS (sekitar Rp6,55 juta per bulan).
Meski angka ini menunjukkan kemajuan, tidak semua warga negara menikmati kualitas hidup yang layak.
Layanan dasar seperti air bersih, sanitasi, dan pendidikan masih belum dapat diakses secara merata.
PDB Memperkuat Ketimpangan Kekuasaan dalam Demokrasi
PDB juga cenderung mengabaikan konsentrasi kekayaan dan kekuasaan.
Data dari World Inequality Database menunjukkan bahwa 1 persen penduduk terkaya menguasai lebih dari 30 persen total kekayaan nasional.
Konsentrasi ini berdampak langsung pada kekuatan politik dan media.
Oligarki ekonomi dapat mempengaruhi kebijakan publik melalui lobi, kampanye, dan pengaruh digital.
Hal ini berisiko merusak demokrasi karena memperbesar ketimpangan kekuasaan di masyarakat.
Louis Brandeis pernah menyatakan, "Kita bisa memiliki demokrasi atau kekayaan besar yang terkonsentrasi, tetapi tidak keduanya".
Jika pertumbuhan ekonomi hanya memperkaya segelintir elite, maka kepercayaan publik terhadap institusi politik akan menurun dan partisipasi warga akan melemah.
- Penulis :
- Balian Godfrey