
Pantau - Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) mengusulkan agar penyadapan dihapus dari Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) karena khawatir potensi penyalahgunaannya.
Wakil Ketua Umum Peradi, Sapriyanto Refa, menyampaikan bahwa penyadapan sudah diatur dalam beberapa undang-undang sektoral, sehingga tidak perlu diatur kembali dalam KUHAP.
"Dalam upaya paksa yang dimiliki ini untuk tindak pidana umum yang ada di dalam KUHAP ini, penyadapan harus dihilangkan," ungkapnya.
Ia menyebut bahwa penyadapan telah diatur dalam UU Narkotika, UU Tindak Pidana Korupsi, dan UU Kepolisian.
Peradi Juga Soroti Alat Bukti dan Keterangan Ahli
Selain soal penyadapan, Peradi juga mengusulkan penghapusan bentuk upaya paksa tertentu dalam RUU KUHAP, sehingga yang tersisa hanya delapan jenis: penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, dan larangan tersangka keluar wilayah Indonesia.
Peradi turut menyarankan agar alat bukti dibatasi hanya pada empat jenis, yaitu: keterangan saksi, bukti surat, bukti elektronik, dan keterangan terdakwa.
Mereka meminta agar keterangan ahli dan bukti petunjuk tidak lagi digunakan, karena dinilai bisa mempengaruhi keyakinan hakim secara tidak proporsional.
Sapriyanto juga menyoroti praktik di persidangan, di mana keterangan ahli dari jaksa lebih sering dipertimbangkan dibandingkan yang diajukan oleh penasihat hukum.
"Karena itu, kalau kemudian dalam penanganan sebuah perkara pidana memerlukan ahli, cukup dia memberikan keterangan tertulis, yang akhirnya menjadi bukti surat. Tidak perlu dihadirkan di persidangan," ujarnya.
Peradi menekankan bahwa penyidik seharusnya tetap aktif mencari sendiri alat bukti dalam proses pembuktian tanpa bergantung pada bukti petunjuk.
- Penulis :
- Balian Godfrey