Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

DPR Pertimbangkan Penggabungan Aturan Penyiaran Konvensional dan Digital dalam Satu RUU demi Kepraktisan Legislasi

Oleh Shila Glorya
SHARE   :

DPR Pertimbangkan Penggabungan Aturan Penyiaran Konvensional dan Digital dalam Satu RUU demi Kepraktisan Legislasi
Foto: Tangkapan layar - Wakil Ketua Komisi I DPR RI Dave Laksono saat memimpin jalannya rapat di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta (sumber: TVR Parlemen)

Pantau - Wakil Ketua Komisi I DPR RI Sukamta menyatakan bahwa idealnya aturan penyiaran konvensional dan digital tidak digabung dalam satu revisi Undang-Undang Penyiaran, namun demi kepraktisan, penggabungan tersebut bisa diterima sementara waktu.

Pernyataan itu disampaikan Sukamta dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Panitia Kerja RUU Penyiaran Komisi I DPR RI bersama Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Serikat Pekerja Broadcaster (SPB), dan Asosiasi Kreator Konten Siaran Indonesia (AKKSI).

"Memang idealnya undang-undang ini dipecah, enggak jadi satu (dalam RUU Penyiaran). Ada undang-undang penyiaran, ada undang-undang telekomunikasi, ada undang mungkin penyiaran digital sendiri, atau mungkin ada undang-undang mestinya selain keamanan cyber-nya", ungkap Sukamta.

Namun Sukamta mengungkapkan kekhawatirannya bahwa jika RUU Penyiaran dipisahkan menjadi beberapa undang-undang baru, proses legislasi akan memakan waktu lama dan berisiko tidak rampung.

"Undang-Undang Penyiaran ini kita revisi sudah sejak 2012, sampai hari ini belum kelar, Pak. Sudah ganti zaman, ganti teknologi, sudah usang banget undang-undang (tahun) 2002. Saya khawatir kalau ini kami pecah, nanti pecahnya nggak jadi (undang-undang), Pak. Betul-betul enggak jadi", ia menegaskan.

DPR Sepakat Prioritaskan Penyelesaian RUU Penyiaran

Sukamta menyatakan bahwa penggabungan sementara aturan penyiaran konvensional dan digital adalah bentuk kompromi agar proses legislasi dapat berjalan lebih cepat.

"Memang jadi agak ada pemaksaan soal definisi (penyiaran) misalnya, memang agak kami memaksakan, isinya juga mungkin nanti agak dipaksakan antara penyiaran berbasis terestrial, penyiaran OTT, kemudian ada tadi konten kreator", katanya.

Wakil Ketua Komisi I DPR RI lainnya, Dave Laksono, juga menyetujui pendekatan tersebut dan menegaskan bahwa RUU dapat diperbarui kembali di masa mendatang sesuai kebutuhan perkembangan teknologi dan media.

"Undang-undang itu kan juga living document ya, Pak. Jadi, memang bilamana ke depannya dibutuhkan untuk pemisahan, ya bisa saja (nanti dipecah), tapi kalau tidak dimulai sekarang, nanti tidak ada ujungnya. Jadi, biar kami selesaikan ini (RUU Penyiaran), nanti ke depannya bisa ada penyempurnaan lagi", ujarnya.

Anggota Komisi I DPR RI Junico Siahaan menekankan pentingnya redefinisi istilah penyiaran dalam revisi UU tersebut, agar tidak terbatas pada siaran berbasis frekuensi semata.

"Karena kalau dibilang siaran, definisinya kan sebuah one-to-many. Sementara hari ini platform tidak merasa bahwa mereka menyiarkan. Jadi, ini kita harus re-definisi sampai ketemu betul-betul", katanya.

Nico juga menegaskan bahwa fokus regulasi seharusnya bukan pada medianya, tetapi pada konten yang disiarkan kepada publik.

"Sementara ke depan tantangannya akan ada AI, ada Starlink, kita enggak tahu nyebutnya apa nanti karena tidak pakai frekuensi. Entah apalagi nanti teknologi ke depan, tapi bentuknya adalah sebenarnya konten itu yang mau kita kawal sama-sama", ujarnya.

Sebelumnya, Komisi I DPR RI telah melakukan rapat dengan berbagai lembaga penyiaran nasional seperti Kominfo Digital (Komdigi), LPP TVRI, LPP RRI, dan LKBN ANTARA untuk membahas substansi revisi RUU Penyiaran.

RUU tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran telah ditetapkan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas atas usulan Komisi I DPR RI.

Penulis :
Shila Glorya