Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Menag Ajak Ulama Kembangkan Tafsir Al Quran Kontekstual Berdasarkan Budaya Indonesia

Oleh Shila Glorya
SHARE   :

Menag Ajak Ulama Kembangkan Tafsir Al Quran Kontekstual Berdasarkan Budaya Indonesia
Foto: Menteri Agama Nasaruddin Umar dalam International Conference on Islamic Ecotheology for the Future of the Earth (ICIEFE) 2025 di Jakarta (sumber: Kemenag)

Pantau - Menteri Agama Nasaruddin Umar mengajak para ulama dan akademisi untuk membuka ruang tafsir Al Quran yang kontekstual dan adaptif terhadap perubahan zaman dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan lokal.

Dalam acara International Conference on Islamic Ecotheology for the Future of the Earth (ICIEFE) 2025 dan Kick-Off for the Refinement of MoRA’s Qur’anic yang digelar di Jakarta, Selasa (15/7), Menag menyampaikan pentingnya pendekatan tafsir Al Quran yang tidak hanya bersumber dari budaya Arab semata, melainkan mempertimbangkan juga budaya Indonesia.

"Jadi, ada hak budayanya orang Arab memahami Al Quran berdasarkan perspektif budaya Arabnya. Tapi kita juga di Indonesia punya hak budaya untuk menafsirkan Al Quran menurut perspektif budaya kita," ungkapnya.

Tafsir Kontekstual Sebagai Hak Budaya

Nasaruddin menjelaskan bahwa dalam kajian antropologi dikenal konsep cultural rights atau hak budaya, yang berarti setiap bangsa berhak memahami dan menafsirkan kitab suci berdasarkan konteks sosial dan budayanya sendiri.

Ia menekankan bahwa Al Quran adalah kitab suci yang diturunkan untuk seluruh umat Islam di dunia, sehingga penafsirannya tidak boleh dibatasi oleh satu budaya tertentu.

"Penafsiran terhadap kitab suci perlu mempertimbangkan konteks lokal agar lebih relevan dan membumi," ujarnya.

Menag juga menyoroti pentingnya penguasaan bahasa dalam menafsirkan teks keagamaan. Ia menyebutkan bahwa bahasa Indonesia memiliki kosakata yang terbatas dibandingkan bahasa lain, sehingga berpotensi menimbulkan beragam penafsiran.

"Ini yang menjadikan kita salah memahami agama karena kesalahan berpikir yang hanya meng-copy paste penafsiran dari orang lain, padahal mereka berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dengan kita," katanya.

Langkah Awal Reformulasi Tafsir Al Quran

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Abu Rokhmad menyampaikan bahwa umat Islam selama ini hidup dalam peradaban teks atau nash, yang menjadikan Al Quran dan hadis sebagai rujukan utama dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, ia mengingatkan bahwa tidak semua tafsir dan fikih yang berkembang selama ini selalu relevan dengan tantangan zaman.

"Konferensi ini menjadi titik awal bagi Kemenag dalam menyusun tafsir Al Quran yang lebih relevan dengan isu-isu kontemporer, khususnya terkait isu lingkungan," katanya.

Abu berharap melalui tafsir yang baru, agama dapat mengambil peran penting dalam menjawab tantangan global dengan pendekatan yang kontekstual dan inklusif.

"Kami berharap tafsir baru ini dapat memperkuat peran agama dalam menjawab persoalan global melalui pendekatan yang kontekstual dan inklusif," ujar Abu.

Konferensi ICIEFE 2025 yang berlangsung pada 14–16 Juli 2025 ini merupakan penutup rangkaian kegiatan Peaceful Muharam 1447 Hijriah yang telah berlangsung sejak 22 Juni 2025.

Konferensi ini juga merupakan tindak lanjut dari Deklarasi Istiqlal 2024 yang menekankan pentingnya Pancasila sebagai dasar filosofis dalam membangun etika bumi dan solidaritas ekologis lintas iman.

"Konferensi ini akan mendorong lahirnya kebijakan dan aksi sosial yang tidak hanya berbasis teknokrasi, tetapi juga nilai-nilai spiritual," kata Abu.

Acara ini melibatkan berbagai unsur, mulai dari pemerintah, akademisi nasional dan internasional, masyarakat sipil, media, hingga generasi muda dari pesantren, universitas, dan komunitas lingkungan.

Penulis :
Shila Glorya