Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Pajak Olahraga 10 Persen di Jakarta Dinilai Kontraproduktif, Pemerintah Diminta Tinjau Ulang Secara Selektif

Oleh Aditya Yohan
SHARE   :

Pajak Olahraga 10 Persen di Jakarta Dinilai Kontraproduktif, Pemerintah Diminta Tinjau Ulang Secara Selektif
Foto: (Sumber: Ilustrasi - Warga lanjut usia (lansia) yang tergabung dalam Komunitas Jalan Nordic Indonesia (KJNI) berjalan kaki menggunakan tongkat hiking atau trekking pole pada Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di kawasan Bundaran HI, Jakarta Pusat, Minggu (13/7/2025). ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah/nz)

Pantau - Kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang mengenakan pajak hiburan sebesar 10 persen atas berbagai aktivitas olahraga komersial menuai kritik karena dinilai kontraproduktif terhadap upaya pembangunan kesehatan masyarakat.

Kebijakan tersebut tercantum dalam Keputusan Kepala Bapenda DKI Jakarta Nomor 257 Tahun 2025 dan mencakup 21 jenis olahraga, seperti yoga, padel, bulu tangkis, sewa lapangan futsal, hingga jetski dan ice skating.

Langkah ini menimbulkan paradoks karena olahraga yang mendukung kesehatan publik diperlakukan sama dengan aktivitas hiburan seperti bioskop dan konser.

Potensi Hambat Gaya Hidup Sehat Masyarakat

Olahraga memainkan peran penting dalam mencegah penyakit tidak menular seperti diabetes dan obesitas.

Namun, di tengah terbatasnya ruang publik di kota besar seperti Jakarta, fasilitas olahraga komersial justru menjadi alternatif utama bagi masyarakat untuk tetap aktif.

Pengenaan pajak menyebabkan biaya akses ke fasilitas tersebut meningkat, yang berpotensi menghambat partisipasi warga, khususnya masyarakat menengah ke bawah.

“Pajak memengaruhi perilaku masyarakat, sehingga memberi sinyal kebijakan pemerintah tentang aktivitas yang ingin dibatasi atau didorong,” demikian pandangan dalam artikel tersebut.

Riset oleh Nola M. Ries (2012) menunjukkan bahwa keberadaan ruang dan fasilitas olahraga berpengaruh signifikan terhadap kebiasaan aktivitas fisik masyarakat.

Sementara itu, menurut teori perpajakan Combs dan Elledge (1979), prinsip ability-to-pay atau kemampuan membayar harus menjadi acuan dalam kebijakan pajak konsumsi, agar tidak memberatkan masyarakat berpenghasilan rendah.

Pajak olahraga, jika diterapkan tanpa seleksi, cenderung bersifat regresif karena justru membebani kelompok yang paling membutuhkan akses terhadap olahraga sebagai bagian dari gaya hidup sehat.

Perlu Skema Pajak yang Berkeadilan dan Selektif

Dari 21 jenis olahraga yang dikenai pajak, banyak yang merupakan aktivitas partisipatif dan mendukung kebugaran, seperti yoga, atletik, dan futsal.

Sebaliknya, olahraga eksklusif seperti jetski, ice skating, dan bowling memang cenderung bersifat hiburan mewah dan dinilai layak dikenai pajak hiburan.

Oleh karena itu, penting bagi Pemprov DKI Jakarta untuk meninjau ulang kebijakan ini secara selektif dan proporsional.

Pemerintah daerah lain, seperti Kota Yogyakarta dan Kota Bandung, diketahui menerapkan pajak atas aktivitas olahraga secara lebih terbatas dan kontekstual, dengan cakupan hanya beberapa jenis dan kontribusi penerimaan yang kecil.

Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung memang menyebut bahwa daerah lain juga mengenakan pajak olahraga, namun skala dan intensitas penerapannya jauh berbeda dengan Jakarta.

Jika semua layanan olahraga dikategorikan sebagai hiburan tanpa mempertimbangkan fungsi sosial dan kesehatan, kebijakan fiskal justru bisa merusak tujuan pembangunan.

Alternatif: Retribusi dan Insentif Aktivitas Fisik

Beberapa negara seperti Kanada dan Amerika Serikat bahkan memberikan insentif seperti subsidi atau kredit pajak untuk mendorong aktivitas fisik masyarakat, sebagaimana dicatat oleh Ries (2012).

Alternatif lain yang bisa dikembangkan adalah penyediaan fasilitas olahraga publik dengan sistem retribusi terjangkau, yang tidak hanya adil dari sisi fiskal tetapi juga selaras dengan misi kesehatan publik.

Pendapatan dari retribusi bisa menjadi sumber penerimaan yang lebih proporsional dibanding pajak hiburan atas aktivitas yang bersifat fungsional.

Pasal 55 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 memang mencantumkan jasa olahraga permainan sebagai objek pajak daerah, namun pelaksanaannya tetap bergantung pada kebijakan diskresioner di tingkat lokal.

Dalam konteks ini, pajak bukan hanya instrumen penerimaan, tetapi juga sinyal nilai dan orientasi pemerintah terhadap gaya hidup sehat dan keadilan sosial.

Dengan tingkat aktivitas fisik yang masih rendah di kalangan masyarakat perkotaan, kebijakan fiskal seharusnya menjadi solusi, bukan menambah hambatan.

Penulis :
Aditya Yohan