
Pantau - Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menegaskan bahwa seluruh regulasi terkait perlindungan dan pengelolaan lahan gambut telah lengkap dan diterapkan secara sistematis sejak tahun 2016 sebagai bagian dari upaya pemulihan pascakebakaran besar tahun 2015.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Deputi Tata Lingkungan dan Sumber Daya Alam Berkelanjutan KLH, Sigit Relianto, saat ditemui di Jakarta pada Selasa.
Reformasi besar dalam pengelolaan gambut dimulai dengan penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPP-EG) yang menjadi dasar seluruh program restorasi dan pengawasan.
"RPP sudah disusun, dan pelaksanaan pemulihan sudah berjalan. Mulai dari BRG – Badan Restorasi Gambut – di tahun 2014, lalu diperluas menjadi BRGM – Badan Restorasi Gambut dan Mangrove – tahun 2019 yang kini meskipun lembaganya sudah tidak ada, programnya tetap dilanjutkan," ujar Sigit.
Ia menyampaikan pernyataan tersebut didampingi oleh Nani Hendiarti, Deputi Bidang Koordinasi Keterjangkauan dan Keamanan Pangan dari Kemenko Bidang Pangan.
Restorasi Terintegrasi dan Tantangan Implementasi Daerah
Program restorasi gambut dan mangrove saat ini telah diselaraskan dalam kebijakan nasional melalui regulasi turunan seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 dan 27 Tahun 2025.
PP tersebut mengatur tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove serta Penetapan Peta Mangrove Nasional yang menjadi kerangka kerja rehabilitasi kawasan ekosistem rentan seperti pesisir dan rawa gambut.
Sigit menjelaskan bahwa fokus pengelolaan gambut mencakup tiga pilar utama: pemulihan kawasan, pencegahan kebakaran, dan peningkatan kapasitas masyarakat sekitar.
Seluruh komponen program diarahkan untuk memperkuat ketahanan ekologis, terutama di wilayah yang rawan bencana asap.
"Semua pihak harus memahami bahwa gambut adalah sistem ekologis kompleks yang jika rusak, akan berujung pada bencana," tegasnya.
Keberhasilan dari kebijakan ini, menurut KLH, sangat bergantung pada komitmen lintas sektor—pemerintah pusat dan daerah, pelaku usaha, hingga masyarakat sipil.
Harmonisasi antara program nasional dan daerah dinilai penting agar kebijakan tidak hanya berhenti di atas kertas, tetapi benar-benar berdampak di lapangan.
Untuk itu, KLH telah mengagendakan kunjungan ke daerah-daerah rawan kebakaran seperti Riau, Sumatera Selatan, dan Jambi guna mengevaluasi efektivitas program restorasi gambut serta mengidentifikasi kebutuhan revisi kebijakan teknis.
Berdasarkan data Kementerian Kehutanan hingga Mei 2025, dari total 8.594 hektare lahan yang terbakar, sebanyak 80,15 persen merupakan lahan gambut.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf