
Pantau - Romo Martinus Joko Lelono, seorang imam Katolik dan dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, menyatakan bahwa cinta kasih dalam ajaran Katolik memiliki kekuatan untuk menembus sekat-sekat primordial yang sering kali memecah belah umat manusia.
Ia menekankan bahwa ajaran Katolik menempatkan cinta terhadap sesama ciptaan Tuhan pada derajat yang tinggi, sehingga manusia diharapkan dapat saling memuliakan dalam kehidupan bersama.
"Rasa cinta atau kasih sayang adalah bahasa kalbu universal. Ia dapat menembus sekat-sekat primordialisme yang seringkali memisahkan manusia atas alasan superfisial," ungkapnya.
Romo Martinus menjelaskan bahwa hakikat cinta dalam ajaran Katolik berasal dari kehendak Tuhan agar manusia saling mengasihi dan mengupayakan kesejahteraan bersama.
Seruan Toleransi dan Peran Negara dalam Mewujudkan Ruang Perjumpaan
Meskipun ajaran Katolik tidak secara eksplisit membahas nasionalisme, banyak ayat dalam doktrin Gereja yang mengajak umat untuk melihat sesama manusia sebagai satu keluarga besar.
"Esensinya, manusia diciptakan menurut gambar Allah, yang ‘menghendaki segenap bangsa manusia dari satu asal mendiami seluruh muka bumi’. Mereka semua dipanggil untuk satu tujuan yang sama, yakni Allah sendiri,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan kembali pesan Albertus Soegijapranata, uskup pribumi pertama Indonesia, yang pernah menyatakan: “Kami 100 persen Katolik, 100 persen Indonesia.”
Semboyan tersebut, menurut Romo Martinus, menegaskan pentingnya keterlibatan aktif umat Katolik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa mengorbankan keimanan.
Ia menambahkan bahwa cinta kasih kepada Allah dan sesama manusia adalah perintah utama menurut ajaran Gaudium Et Spes 24, yang menjadi dasar kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan bersama.
"Seiring dengan meluasnya umat manusia di dunia, maka aspek kesejahteraan umum bersifat universal," ungkapnya.
Ia menekankan pentingnya memperhatikan kebutuhan dan aspirasi kelompok lain dalam kehidupan berbangsa.
"Setiap kelompok harus memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan serta aspirasi-aspirasi kelompok-kelompok lain yang wajar, bahkan kesejahteraan umum segenap keluarga manusia," katanya.
Terkait kelompok keagamaan yang menyebarkan ajaran dengan kekerasan, Romo Martinus menilai hal itu sebagai bentuk dinamika sosial demi kekuasaan dengan kedok agama.
"Saya menyayangkan bahwa di negeri ini masih ada orang-orang yang kurang terpelajar, yang masih percaya bahwa kemuliaan agama bisa diraih melalui kekerasan. Kemuliaan agama tidak akan bisa ditempuh dengan jalan yang membawa kesengsaraan bagi sesamanya,” tegasnya.
Ia mendorong terciptanya lebih banyak ruang perjumpaan antarumat beragama sebagai upaya konkret menumbuhkan toleransi, dan meminta negara berperan sebagai fasilitator dalam hal ini.
“Saya beberapa kali terlibat di dalam gerakan lintas iman di kalangan anak muda, ada cukup banyak peserta yang tidak pernah mengenal orang dari agama lain. Mereka bersekolah dengan teman seagama; bertetangga dengan yang seagama; berkegiatan dengan yang seagama,” ungkapnya.
Romo Martinus berharap lembaga pendidikan formal dan non-formal tidak memisahkan pergaulan berdasarkan agama hanya demi alasan praktis pengajaran.
"Negara perlu menyediakan media perjumpaan, misalnya taman kota, lapangan, jogging track, lapangan skateboard, sehingga orang bisa bertemu dan tidak terkungkung dengan gadget yang dalam beberapa kesempatan menjadi sarana masuknya paham intoleran," tutupnya.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf