Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Desak Evaluasi Izin Wisata di Taman Nasional Komodo Usai Peringatan UNESCO

Oleh Shila Glorya
SHARE   :

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Desak Evaluasi Izin Wisata di Taman Nasional Komodo Usai Peringatan UNESCO
Foto: Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Evita Nursanty (sumber: DPR RI)

Pantau - Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Evita Nursanty, meminta Kementerian Kehutanan untuk mengkaji ulang seluruh pemberian Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA) di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK), Nusa Tenggara Timur (NTT), menyusul peringatan dari UNESCO terhadap potensi ancaman terhadap status Warisan Dunia kawasan tersebut.

Peringatan UNESCO dan Desakan Penghentian Proyek

Evita menegaskan bahwa pembangunan infrastruktur di TNK harus dihentikan jika tidak sejalan dengan prinsip konservasi dan berpotensi merugikan masyarakat lokal.

Desakan ini muncul sebagai respons atas protes masyarakat adat, organisasi sipil, DPRD lokal, dan pihak lainnya terkait pembangunan resort oleh PT Kencana Watu Lestari (PT KWT) yang mencakup 619 fasilitas wisata di Pulau Padar, serta perusahaan lain di kawasan taman nasional.

"Kita menyadari pentingnya dukungan infrastruktur pariwisata, terutama di destinasi super prioritas seperti Labuan Bajo dan sekitarnya. Namun, jika pembangunan resort dan infrastruktur dilakukan secara masif di Pulau Padar, Pulau Rinca, dan pulau-pulau lain di dalam kawasan TNK, maka hal itu harus dihentikan apabila bertentangan dengan semangat konservasi," ungkapnya.

"Apalagi hal ini berpotensi merusak Outstanding Universal Value (OUV) TNK sebagaimana yang telah diingatkan oleh UNESCO. Bila ingin membangun, sebaiknya dilakukan di luar kawasan taman nasional," ia mengungkapkan.

Perizinan, Zonasi, dan Potensi Pelanggaran

PT KWT mengantongi konsesi seluas 426,07 hektar di Pulau Padar berdasarkan SK No. 796/Menhut-II/2014 dengan jangka waktu selama 55 tahun.

Sementara itu, PT Segara Komodo Lestari (PT SKL) memiliki konsesi 22,10 hektar di Loh Buaya, Pulau Rinca, melalui SK No. 7/1/IUPSWA/PMDN/2015.

Izin-izin tersebut diberikan pasca perubahan zonasi TNK pada 2012, dari zona konservasi menjadi zona pemanfaatan, yang diduga tidak dilaporkan kepada UNESCO.

Menurut hukum Indonesia, pembangunan hanya diperbolehkan di zona pemanfaatan, sementara zona inti dan rimba harus tetap dilindungi.

Evita menekankan bahwa Taman Nasional Komodo telah ditetapkan sebagai situs Warisan Dunia oleh UNESCO sejak 1991, jauh sebelum izin-izin usaha diberikan.

Pada tahun 2021, UNESCO telah memberi peringatan keras kepada pemerintah Indonesia terkait masifnya pembangunan di kawasan taman nasional ini.

Meski Menteri Kehutanan sebelumnya sempat mengeluarkan SK evaluasi terhadap IUPSWA melalui SK No. SK.01/MenLHK/Setjen/Kum.1/1/2022, izin-izin itu tetap berjalan.

"Mengkaji ulang izin-izin tersebut, termasuk perubahan zonasi sejak tahun 2012 adalah hal yang sangat wajar," tegasnya.

Jika terbukti merusak habitat komodo, maka zonasi perlu dikembalikan dari zona pemanfaatan ke zona inti atau zona rimba.

"Artinya, tidak boleh ada pembangunan resort atau fasilitas wisata dalam kawasan taman nasional, dan seluruh aktivitas semestinya diarahkan ke luar kawasan," ujarnya.

Evita mengingatkan bahwa komodo adalah satwa liar yang bergerak bebas tanpa mengenal batas zonasi, sehingga pembangunan akan mengancam ruang hidup mereka.

"Oleh karena itu, penataan ruang harus dilakukan secara cermat dan tidak boleh sembarangan diubah-ubah. Kita mendengar bahwa UNESCO sangat prihatin terhadap perubahan zonasi tahun 2012 tersebut," ucapnya.

Seruan Perlindungan dan Partisipasi Masyarakat

Evita meminta perhatian khusus terhadap TNK sebagai situs Warisan Dunia dan mendorong komitmen serius dari Pemerintah untuk menjaga keberlanjutan destinasi kelas dunia ini.

"Status taman nasional ini tidak bisa disamakan dengan taman nasional lain. Setiap proyek pembangunan harus dinilai secara menyeluruh dengan pendekatan analisis dampak dalam konteks situs warisan dunia," katanya.

Ia juga mengutip Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Pasal 33 melarang aktivitas yang mengubah keutuhan zona inti taman nasional, dan Pasal 35 memberi wewenang kepada pemerintah untuk menghentikan atau menutup pemanfaatan taman nasional bila diperlukan.

"Kita juga mendorong adanya partisipasi yang lebih besar dari masyarakat adat dan lokal dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi seluruh aktivitas yang berkaitan dengan taman nasional," ungkapnya.

"UU Nomor 5 Tahun 1990 menegaskan bahwa konservasi adalah tanggung jawab bersama antara Pemerintah dan masyarakat. Sayangnya, masyarakat justru seringkali tidak dilibatkan," tambahnya.

Evita mendorong audit independen terhadap seluruh proyek pariwisata yang berjalan di kawasan TNK dan menekankan bahwa semua kegiatan harus sesuai dengan standar perlindungan situs warisan dunia UNESCO.

"Sekali lagi, saya minta agar suara UNESCO benar-benar diperhatikan. Jangan sampai status warisan dunia Komodo ini dicabut karena aktivitas bisnis yang mengancam kelestarian komodo serta nilai alam dan budaya kawasan ini," pungkasnya.

Penulis :
Shila Glorya