
Pantau - Anggota Komisi VI DPR RI Ahmad Labib mendesak pemerintah menertibkan dan menindak tegas mafia impor gula rafinasi yang memanfaatkan celah aturan demi keuntungan pribadi namun merugikan petani tebu dan mengganggu stabilitas harga di pasar.
"Jangan biarkan izin impor untuk industri justru bocor ke pasar konsumsi. Akibatnya, harga gula petani jatuh dan daya serap pasar terhadap gula kristal putih (GKP) makin rendah," ungkapnya.
Celah Impor dan Dampaknya
Berdasarkan data Badan Standarisasi Instrumen Pertanian (BSIP) dan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, konsumsi gula nasional saat ini mencapai 3,65 juta ton per tahun, dengan kebutuhan rumah tangga sebesar 3,4 juta ton dan kebutuhan industri sebesar 5,7 juta ton, sehingga total kebutuhan gula nasional mencapai 9,1 juta ton per tahun.
Produksi dalam negeri hanya mampu menghasilkan 2,5–3 juta ton per tahun, sehingga kekurangan pasokan ditutupi dengan impor yang menjadi celah masuknya praktik kartel dan rembesan gula rafinasi ke pasar konsumsi.
Kondisi ini semakin memburuk pada Juni 2025 karena tidak ada pelelangan gula petani akibat harga gula rafinasi impor yang lebih murah.
"Pasar lokal terpukul, petani kehilangan pendapatan, dan ketergantungan impor makin tinggi," ujarnya.
Seruan Kendali Tata Niaga Gula
Labib mengingatkan pemerintah untuk mengembalikan kendali penuh tata niaga gula demi mencapai target swasembada gula konsumsi pada 2028 dan industri pada 2030.
Menurutnya, target ini mustahil tercapai jika pemerintah tidak tegas memberantas praktik impor ilegal.
"Presiden sudah tegas soal swasembada gula. Sekarang waktunya audit total perusahaan pemegang izin impor, aktifkan peran BUMN pangan untuk serap produksi petani, dan berikan modal murah agar petani bisa meningkatkan produksi. Kalau tidak, kedaulatan pangan hanya jadi slogan," tegasnya.
- Penulis :
- Arian Mesa