Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

DPR Harap Kesepakatan Royalti Lagu Hasilkan Ekosistem Musik yang Lebih Sehat dan Berkeadilan

Oleh Ahmad Yusuf
SHARE   :

DPR Harap Kesepakatan Royalti Lagu Hasilkan Ekosistem Musik yang Lebih Sehat dan Berkeadilan
Foto: (Sumber: Dokumentasi - Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Dewi Asmara. (ANTARA/Dokumentasi Pribadi))

Pantau - Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Dewi Asmara, menyampaikan harapannya agar kesepakatan hasil rapat konsultasi antara DPR RI, pemerintah, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), dan perwakilan musisi pada Kamis, 21 Agustus 2025, dapat menciptakan ekosistem industri musik yang lebih sehat dan berkelanjutan.

“Penyelesaian polemik royalti ini akan menciptakan ekosistem industri musik yang lebih sehat. Musisi mendapatkan penghargaan yang layak atas karya mereka, sementara pelaku usaha bisa tetap berkontribusi pada industri budaya tanpa merasa terbebani,” ungkapnya.

Lima Kesepakatan Kunci: Sentralisasi hingga Tarif Proporsional

Dalam rapat tersebut, Dewi memaparkan lima poin utama yang disepakati:

  • Sentralisasi penarikan royalti akan dipusatkan di LMKN selama dua bulan ke depan guna memastikan transparansi dan akuntabilitas, sambil menunggu revisi Undang-Undang Hak Cipta.
  • Audit dan transparansi distribusi royalti, di mana seluruh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) akan diaudit agar distribusi royalti dilakukan secara adil, terbuka, dan profesional.
  • Revisi UU Hak Cipta, yang ditargetkan selesai dalam dua bulan, bertujuan memperjelas mekanisme penarikan, distribusi, dan pengawasan royalti.
  • Edukasi dan sosialisasi, di mana pemerintah berkomitmen meningkatkan pemahaman publik dan pelaku usaha terhadap pentingnya menghormati hak cipta dan kewajiban membayar royalti.
  • Skema tarif proporsional, yang menyesuaikan tarif royalti dengan jenis usaha, luas ruangan, dan durasi pemutaran musik.

“Skema ini akan meringankan beban pelaku usaha, namun tetap menjamin hak musisi,” ujar Dewi.

Polemik Royalti dan Upaya Menciptakan Sistem yang Akuntabel

Dewi menilai bahwa polemik royalti muncul karena kesenjangan pemahaman antara pelaku usaha, pencipta lagu, dan regulator dalam pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.

Banyak pelaku usaha seperti restoran, kafe, hotel, dan moda transportasi umum tidak menyadari kewajiban membayar royalti.

Bahkan, sebagian di antaranya memilih berhenti memutar lagu atau beralih ke lagu asing untuk menghindari beban administrasi.

Di sisi lain, para musisi mempertanyakan transparansi distribusi royalti yang dilakukan oleh LMK.

“Puncak dari keresahan ini terjadi ketika 29 musisi mengajukan uji materil Undang-Undang Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi pada Maret 2025,” ujarnya.

Dewi menambahkan bahwa revisi terhadap UU Nomor 28 Tahun 2014 dan digitalisasi sistem royalti akan menjadi fondasi bagi sistem yang adil, modern, dan akuntabel.

Ia juga menekankan pentingnya membangun budaya menghormati hak cipta sebagai bagian dari penghargaan terhadap karya anak bangsa.

“Ini bukan sekadar soal bisnis atau regulasi, tapi tentang menghargai karya anak bangsa dan memastikan industri musik Indonesia terus tumbuh dengan sehat dan berkelanjutan,” tutupnya.

Penulis :
Ahmad Yusuf