billboard mobile
HOME  ⁄  Nasional

Pengamat UGM: Bentuk Kelembagaan LMKN Harus Diperjelas dalam Revisi UU Hak Cipta

Oleh Aditya Yohan
SHARE   :

Pengamat UGM: Bentuk Kelembagaan LMKN Harus Diperjelas dalam Revisi UU Hak Cipta
Foto: (Sumber: Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Gadjah Mada Danang Girindrawardana. ANTARA/Agatha Olivia Victoria)

Pantau - Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Gadjah Mada, Danang Girindrawardana, menegaskan pentingnya kejelasan bentuk kelembagaan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dalam revisi Undang-Undang Hak Cipta yang sedang dibahas saat ini.

LMKN Harus Legal dan Diatur Negara

"Bukan sekadar peran, tetapi bentuk kelembagaan LMKN itu. Supaya legal memungut dana dari masyarakat," kata Danang.

Ia menyatakan bahwa keberadaan LMKN perlu memiliki dasar hukum yang kuat agar tidak menimbulkan keraguan legalitas dalam aktivitas pemungutan royalti.

Menurutnya, seharusnya LMKN menjadi bagian dari institusi negara, bukan sekadar wadah aktivis swasta.

Ia menyarankan agar dalam revisi UU Hak Cipta, bentuk kelembagaan LMKN dikaji ulang dan sebaiknya dilebur menjadi satu cabang kewenangan pemerintah.

Dengan begitu, legitimasi pemungutan dana lebih terjamin dan tidak menimbulkan polemik di masyarakat.

Sebagai Dewan Pakar Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Danang juga menekankan bahwa pemungutan dana sebaiknya dilakukan oleh satu lembaga resmi untuk menghindari potensi pungutan liar atau ilegal.

Horeka Jangan Dibebani, Perlu Ada Keadilan bagi Semua Pihak

Danang juga menyoroti pentingnya keadilan dalam kebijakan hak cipta, termasuk bagi pencipta lagu, pembawa lagu, dan penikmat musik dari sektor horeka (hotel, restoran, dan kafe).

Ia menilai horeka merupakan sektor yang menyerap banyak tenaga kerja dan berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

"Maka, jangan sampai membebani dengan tarif apalagi ada ancaman pidana. Ada simbiose mutualisme antara produsen musik dan penikmat musik, yaitu di hal promotional," katanya.

Horeka sebagai penikmat musik dianggap turut mendukung promosi musik lokal, sehingga perlu diperlakukan sebagai mitra, bukan objek yang dibebani pungutan.

Ia juga mengkritik kebingungan di lapangan soal pemungutan royalti yang tidak membedakan pemutaran musik untuk dekorasi suasana (ambience) dengan penampilan langsung oleh musisi.

Danang menilai perlunya pembeda yang jelas jika royalti dikenakan pada penampilan musisi, termasuk antara musisi rumahan, musisi kafe, dan musisi profesional yang telah merilis album.

"Di sisi lain yang menjadi masalah besar juga adalah bagaimana membagikan royalti itu kepada produsen atau penyanyi secara adil," tambahnya.

Penulis :
Aditya Yohan