
Pantau - Suasana pagi di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau, menggambarkan kehidupan sederhana masyarakat desa—dari ayam berkokok, anak-anak menuju sekolah swadaya, hingga ibu-ibu bekerja di kebun sawit kecil.
Selama puluhan tahun, warga menggantungkan hidup dari tanah yang kini oleh negara dikategorikan sebagai kawasan konservasi.
Mereka hidup di wilayah yang, menurut hukum, tidak boleh dijadikan permukiman, kebun, atau sekolah.
Namun bagi warga, tempat itu adalah rumah, ladang penghidupan, dan harapan untuk masa depan anak-anak mereka.
Status Hukum Berubah, Warga Kehilangan Kepastian
Sebagian warga menyatakan telah tinggal di kawasan itu sejak 1998, bahkan memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) yang diterbitkan sebelum TNTN ditetapkan sebagai calon taman nasional pada 2004.
Setelah perubahan status, dokumen formal tersebut dianggap tidak sah.
"Kalau dari dulu dilarang, kami tidak mungkin membangun. Sekarang semua sudah ada rumah, sekolah, bahkan masjid. Tiba-tiba kami disuruh keluar," kata seorang warga.
Konflik lahan di TNTN menjadi cermin ketegangan antara warga yang lebih dulu hadir dan negara yang datang membawa aturan baru.
Masyarakat mempertanyakan: sampai kapan mereka bisa tinggal di tanah itu?
Aturan vs Kenyataan: Hukum Lingkungan yang Kabur
Dalam regulasi kehutanan, hutan konservasi tidak boleh digarap untuk kebun atau permukiman—hanya diperuntukkan untuk kegiatan riset, pendidikan, atau ekowisata.
Namun dalam praktiknya, batas antara aturan dan realitas menjadi kabur.
Negara melarang warga membuka lahan, tapi perusahaan sawit tetap beroperasi di zona konservasi.
Maladministrasi memperparah situasi: penertiban banyak menyasar warga kecil, sementara aktor besar terkesan kebal hukum.
Kritik pun mengemuka: hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Tesso Nilo: Dari Konsesi Perusahaan ke Kawasan Sengketa
Wilayah TNTN dulunya adalah bekas konsesi perusahaan, seperti PT Dwi Marta dan Inhutani.
Perluasan kawasan tahun 2009 juga mencakup bekas HPH PT Nanjak Makmur.
Tahun 2010, WWF dan Balai TN mencatat lebih dari 28.000 hektare kawasan sudah dikelola masyarakat.
Enam desa terdampak langsung:
- Bukit Kusuma
- Lubuk Kembang Bunga
- Segati
- Gondai
- Air Hitam
- Bagan Limau
Jumlah warga terdampak diperkirakan lebih dari 25.000 jiwa.
Di Lubuk Kembang Bunga saja, terdapat tiga dusun dengan lebih dari 10.000 penduduk, sekolah, rumah ibadah, dan infrastruktur swadaya lainnya.
Negara Hadir dengan Senjata, Bukan Solusi
Satgas Penanganan Kawasan Hutan (PKH) menyarankan relokasi mandiri, namun tanpa kejelasan lokasi, jaminan kehidupan, atau dukungan nyata.
Warga merasa terancam, apalagi dengan kehadiran aparat bersenjata dalam operasi penertiban.
"Yang kami takutkan bukan hanya kehilangan rumah, tapi kehilangan masa depan. Kami tidak tahu ke mana harus pergi," ucap seorang tokoh masyarakat.
Mencari Titik Temu: Antara Hutan dan Hak Hidup
Solusi ideal membutuhkan dua pendekatan:
- Penegakan hukum harus tetap berjalan untuk menjaga fungsi ekologis TNTN.
- Negara harus memberi solusi legal dan kepastian hidup bagi warga terdampak, seperti melalui skema perhutanan sosial (PS).
- Pendekatan partisipatif adalah kunci: warga harus dilibatkan dalam setiap proses penyelesaian, bukan dianggap musuh negara.
Konflik di Tesso Nilo bukan sekadar soal status tanah, tapi pertanyaan besar: apakah negara hadir untuk menjaga hutan, atau juga melindungi warganya yang menggantungkan hidup dari sana?
Jika tidak ditemukan jalan tengah, Tesso Nilo akan terus menjadi simbol perebutan kepentingan, meski secara hukum ditetapkan sebagai kawasan lindung.
- Penulis :
- Aditya Yohan