
Pantau - Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menegaskan bahwa seluruh perusahaan di kawasan industri Cikande, Kabupaten Serang, Banten, yang terdampak kontaminasi radioaktif Cesium-137 wajib menanggung seluruh biaya dekontaminasi.
Kebijakan ini merujuk pada prinsip polluters pay principle, yang berarti pencemar bertanggung jawab atas dampak pencemaran yang ditimbulkan.
Deputi Bidang Penegakan Hukum Lingkungan Hidup KLH, Irjen Pol Rizal Irawan, menyampaikan bahwa tanggung jawab tersebut bersifat mutlak.
"Prinsipnya polluters pay principle. Siapa yang melakukan pencemaran atau polusi, dia yang bertanggung jawab. Ada strict liability di situ, tanggung jawab mutlak yang diatur dalam undang-undang," ungkapnya.
Ia merujuk pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai dasar hukum.
Perusahaan Wajib Mandiri dalam Proses Dekontaminasi
Rizal menegaskan bahwa pembiayaan dekontaminasi bukan merupakan bantuan atau tanggung jawab negara.
"Jangan salah paham, ini bukan sumbangan. Siapapun yang melakukan polusi, dia yang harus bertanggung jawab," ujarnya.
Perusahaan-perusahaan di area terkontaminasi telah diperintahkan untuk melakukan dekontaminasi secara mandiri.
"Mereka diperintahkan untuk melakukan dekontaminasi masing-masing dan biayanya mereka yang bayar sendiri. Jadi, tidak ada ke kita, silakan mereka mandiri," ia menambahkan.
Walaupun pelaksanaan di lapangan melibatkan tim teknis seperti Gugana, Nubika TNI, Bapeten, dan BRIN, seluruh pembiayaan atas bahan dan peralatan tetap menjadi tanggung jawab industri.
"Mereka menyediakan sendiri perlengkapannya, karena itu menggunakan bahan khusus yang tidak murah. Itu bukan tanggung jawab negara," tegas Rizal.
Ia juga menegaskan perbedaan tanggung jawab antara pihak industri dan masyarakat terdampak.
"Kalau masyarakat, itu tanggung jawab negara. Tapi, kalau di area pabrik, perusahaan lah yang wajib menanggung sesuai prinsip polluters pay," katanya.
Indikasi Sumber Kontaminasi dan Penanganan Wilayah Terdampak
Hasil penyelidikan tempat kejadian perkara (TKP) menunjukkan bahwa sumber kontaminasi radioaktif berasal dari PT PMT.
"Pabrik-pabrik lain bukan penyebab, beda dengan PMT. Di PMT kami menemukan sumbernya di tungku proses dan area bahan baku. Ada indikasi kuat penyebab kontaminasi berasal dari sana," ujar Rizal.
Sementara itu, perusahaan lain seperti PT Jongka Indonesia dikategorikan sebagai korban.
"Kalau PT Jongka ini termasuk korban," jelasnya.
Terkait dugaan bahan baku impor sebagai penyebab kontaminasi, data sementara menunjukkan bahwa bahan logam berasal dari dalam negeri.
"Dari data kami, PMT tidak melakukan impor. Bahan yang digunakan berasal dari dalam negeri," katanya.
Polri melalui Bareskrim masih menyelidiki lebih lanjut asal bahan logam yang terkontaminasi.
"Soal impor atau asal bahan logam, nanti Bareskrim yang menjelaskan. Prosesnya masih berjalan, sabar saja," ungkap Rizal.
KLH bersama BRIN saat ini sedang memetakan zona merah dan zona kuning di wilayah terdampak untuk menentukan langkah penanganan lebih lanjut.
"Setiap zona perlakuannya berbeda. Sekarang masih di zona merah, ada 22 kepala keluarga yang disarankan untuk relokasi dan mereka sudah bersedia," terangnya.
Penetapan zona tidak berdasarkan satu radius tertentu, melainkan dari hasil temuan kontaminasi aktif di beberapa titik.
"Ada beberapa titik zona merah dan zona kuning. Radiusnya berbeda-beda, karena ada sekitar tiga titik yang kita temukan," jelasnya.
Pemerintah memastikan bahwa seluruh proses dekontaminasi akan berjalan sesuai dengan prosedur hukum lingkungan dan tidak membebani keuangan negara.
"Polusi di kawasan industri adalah tanggung jawab industri. Prinsipnya sederhana, siapa yang mencemari, dia yang membersihkan," tutup Rizal.
- Penulis :
- Arian Mesa