
Pantau - Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, Sugeng Suparwoto, menegaskan bahwa pemanfaatan bioetanol sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia harus dilakukan secara hati-hati dan berbasis riset ilmiah yang menyeluruh, mengingat dampaknya terhadap masyarakat dan sektor strategis nasional.
Menurutnya, bioetanol memiliki sifat kimia yang spesifik, termasuk bersifat korosif, sehingga implementasinya harus melalui proses uji yang terbukti aman.
"Karena menyangkut hajat hidup orang banyak dan banyak pemangku kepentingan, pemanfaatan etanol sebagai campuran BBM harus melalui proses yang betul-betul proven, melalui kajian tertentu. Etanol ini memiliki sifat kimia yang spesifik, salah satunya bersifat korosif," ungkapnya.
Potensi Bioetanol dan Manfaat Strategis bagi Energi Nasional
Sugeng menyebut bahwa meskipun sejumlah negara telah berhasil memanfaatkan bioetanol untuk kendaraan, Indonesia tetap harus melalui proses penelitian dan uji coba menyeluruh untuk menjamin keamanannya terhadap performa kendaraan dan infrastruktur energi.
"Pemanfaatan bioetanol ini sebenarnya langkah yang baik, apalagi jika kita melihat dampak jangka panjangnya terhadap ekonomi dan lingkungan. Tapi harus dikaji betul secara ilmiah agar tidak menimbulkan efek teknis yang tidak diinginkan," ia menegaskan.
Konsumsi BBM nasional saat ini sekitar 1,6 juta barel per hari, sedangkan kapasitas produksi dalam negeri hanya sekitar 600 ribu barel per hari, sehingga Indonesia masih harus mengimpor sekitar satu juta barel BBM per hari.
"Artinya, kita masih mengimpor sekitar satu juta barel per hari, baik dalam bentuk minyak mentah maupun produk BBM jadi. Ini menjadi beban ekonomi yang terus meningkat setiap tahun dan membebani APBN kita," jelas Sugeng.
Dari sisi fiskal, beban subsidi energi juga sangat besar, mencapai Rp308 triliun untuk listrik, solar, dan LPG 3 kilogram.
Dengan mengadopsi bioetanol hingga 10 persen dalam campuran BBM, Indonesia berpotensi mengurangi volume impor BBM hingga 10 persen, sekaligus menghemat devisa dan menurunkan emisi karbon.
"Kalau 10 persen dari BBM digantikan dengan bioetanol, maka volume impor BBM bisa turun hingga 10 persen. Ini tentu berdampak langsung pada penghematan devisa dan penurunan emisi," ujarnya.
Kebutuhan Skala Besar dan Peran BRIN dalam Pengembangan Bioetanol
Sugeng menyoroti bahwa Indonesia sebagai negara tropis memiliki potensi besar untuk produksi bioetanol dari tanaman lokal seperti tebu, singkong, dan nira aren.
"Nira aren menjadi bahan baku paling ideal karena kandungan gulanya tinggi dan tidak mengganggu ketahanan pangan nasional," ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa molase dari tebu dan singkong juga berpotensi, asalkan tidak berbenturan dengan kebutuhan pangan.
"Negara tropis seperti Indonesia punya sumber daya yang melimpah. Molase dari tebu bisa digunakan, meskipun perlu diatur agar tidak berebut dengan kebutuhan gula. Selain itu, singkong dan nira aren dengan kadar gula tinggi juga sangat potensial untuk produksi bioetanol," jelasnya.
Namun, Sugeng menekankan bahwa efisiensi industri hanya bisa tercapai jika produksi bioetanol dilakukan dalam skala besar.
"Produksinya harus dalam skala besar supaya efisien dan tidak merugikan. Pemerintah juga perlu mengarahkan riset dan inovasi untuk menemukan formulasi paling tepat dalam pengolahan dan distribusinya," katanya.
Ia juga mendorong peran aktif Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk melakukan riset mendalam dan menyosialisasikan kebijakan ini kepada masyarakat.
"Pemerintah melalui lembaga berkompeten seperti BRIN harus melakukan riset dan sosialisasi secara tuntas, agar masyarakat memahami kenapa kita beralih ke bioetanol. Tujuannya jelas untuk menghemat devisa, menekan emisi, dan mengurangi ketergantungan pada energi fosil," tuturnya.
Sugeng menegaskan bahwa DPR RI akan terus mendukung kebijakan transisi energi bersih dan berkelanjutan selama berbasis pada kajian ilmiah yang kuat dan berpihak pada kepentingan nasional.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf