billboard mobile
Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Strategi Diplomasi Indonesia Era Prabowo: Kolaborasi Hard, Soft, dan Smart Power dalam Politik Bebas Aktif

Oleh Aditya Yohan
SHARE   :

Strategi Diplomasi Indonesia Era Prabowo: Kolaborasi Hard, Soft, dan Smart Power dalam Politik Bebas Aktif
Foto: (Sumber: Anggota MPR RI Hasanuddin Wahid mensosialisasikan empat pilar kebangsaan di Sekolah Tinggi Agama Islam Ma'had Aly (STAIMA) Al Hikam, Kota Malang, Jawa Timur, Senin (13/10/2025). ANTARA/HO-MPR RI/am.)

Pantau - Anggota Komisi XI DPR RI Hasanuddin Wahid menekankan pentingnya sinergi antara hard power, soft power, dan smart power dalam diplomasi Indonesia di level internasional sebagai strategi untuk memperkuat posisi bangsa di tengah dinamika global.

" Kita harus kasih kepercayaan penuh kepada institusi militer kita," tegasnya saat berbicara dalam acara Deep Talk Indonesia yang digelar untuk memperingati satu tahun Astacita Presiden Prabowo di bidang diplomasi dan pertahanan.

Prabowo dan Pendekatan Bebas Aktif dalam Konteks Dunia Baru

Hasan menjelaskan bahwa secara hard power, Indonesia telah membangun industri pertahanan dan memperkuat alat utama sistem senjata (alutsista).

Dari sisi soft power, Presiden Prabowo Subianto dianggap memiliki pemahaman mendalam soal diplomasi dan posisi global.

"Pola interaksi yang dimainkan Presiden adalah pengalaman dijajah," ungkapnya, menggambarkan sensitivitas sejarah dalam membangun komunikasi internasional.

Hasan menyoroti pentingnya pengembangan smart power sebagai pelengkap strategi, yang menurutnya belum dijalankan secara terukur.

"Saat ini kita belum melakukannya secara terukur dan sistematis. Tanpa tiga hal ini, kita sulit untuk menjadi negara disegani," ujarnya.

Analis intelijen dan keamanan, Ngasiman Djoyonegoro, menilai pendekatan Prabowo sebagai bentuk nyata dari prinsip politik luar negeri bebas aktif.

"Presiden berhasil memainkan peran signifikan dan membuat nyata prinsip politik bebas aktif Indonesia," ujarnya.

Simon menyebut sejak terpilih pada 2024, langkah diplomatik Presiden sangat terukur, seperti kunjungan ke China dan Amerika dalam satu rangkaian, serta membangun hubungan dengan BRICS+ dan G7 yang saling berseberangan.

Ia menekankan pentingnya pendekatan Diplomacy, Information, Military, and Economy (DIME) sebagai instrumen kekuatan nasional.

Dalam bidang informasi, Indonesia disebut mulai memimpin transformasi digital melalui penguatan aplikasi, SDM, infrastruktur, dan lembaga seperti TNI, Polri, serta intelijen di ruang siber.

Konteks Hukum, SDA, dan Perubahan Tatanan Dunia

Prof. Dr. Muhammad Maksum, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, menyatakan bahwa hukum tidak bisa dipisahkan dari politik dan diplomasi.

"Hukum adalah produk politik. Dalam buku yang ditulis oleh Dr. Ngasiman Djoyonegoro ini banyak pelajaran yang dapat diambil," katanya.

Sekretaris Umum ISNU, Wardi Taufiq, menilai forum ilmiah seperti ini penting untuk menjaga kualitas diskursus publik di tengah maraknya disinformasi di media sosial.

"Di tengah matinya kepakaran, sulit membedakan antara pengetahuan dan opini, antara data dan prasangka. Kita berkewajiban membangun kepakaran tersebut dengan menghidupkan diskusi-diskusi bersama pakar seperti ini," ungkapnya.

Ia menyebut Astacita sebagai strategi epistemik diplomasi Indonesia dalam koridor bebas aktif.

Abdul Wahid Maktub, dosen President University, menyebut tatanan dunia telah berubah dan teori lama tidak lagi relevan.

"Samuel P. Huntington mengakui dan merevisi teorinya dari the clash of civilizations menjadi the alliance of civilizations," jelasnya.

Ia mencontohkan kesalahan kalkulasi geopolitik Israel dalam serangan ke Hamas dan Amerika terhadap China.

Menurut Stepi Anriani, pakar intelijen dan pertahanan, ketidakpastian global justru memberi ruang bagi Indonesia memainkan politik bebas aktif.

"Dunia kita sedang terbagi dalam great power, super power, dan regional power. Belum pernah Amerika sebegitu dibencinya dalam pergaulan internasional. Tapi, Presiden Prabowo dianggap sahabat oleh Presiden Trump," katanya.

"Presiden Prabowo sedang menunjukkan bagaimana politik bebas aktif dimainkan. Di satu sektor bisa tidak sepakat, tapi di sektor lain kerja sama berjalan baik. Misalnya dengan China, Indonesia berseteru di Laut China Selatan, tetapi akur dalam kerja sama ekonomi," tambahnya.

Atep Abdurofiq, dosen hubungan internasional UIN, menyoroti pentingnya pengelolaan sumber daya alam (SDA) secara strategis.

"Indonesia sedang on the track dengan memanfaatkan daya tawar critical mineral dan hilirisasi," jelasnya.

Dwi Sulaksono, Staf Ahli KSAL Bidang Keamanan Laut, menyatakan bahwa kesiapan militer tetap krusial demi menjaga perdamaian.

"Kalau kita mau membangun perdamaian, kita harus siap perang," tegasnya.

"Inilah yang sedang dipersiapkan. Dan kita membutuhkan input sebagaimana buku yang ditulis oleh Dr. Ngasiman Djoyonegoro ini," tambah Dwi.

Penulis :
Aditya Yohan