
Pantau - Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mendorong pemerintah daerah untuk mempercepat pembangunan rumah susun di kawasan padat penduduk sebagai langkah strategis meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan menata kota secara berkelanjutan.
Tito menekankan pentingnya memperbanyak pembangunan rumah susun, terutama di kota besar seperti Jakarta, guna mengatasi keterbatasan lahan dan meningkatkan efisiensi penggunaan ruang.
"Sebetulnya kita mengharapkan Jakarta bisa seperti itu. Berubah. Dan itu tapi kita harus mulai dari sosialisasi kepada masyarakat," ungkapnya.
Ia menilai hunian vertikal merupakan solusi strategis sebagaimana telah diterapkan secara masif di Singapura sejak akhir 1990-an.
Solusi Penataan Kota dan Tantangan Geografis
Hunian vertikal dianggap memudahkan penyediaan fasilitas publik seperti sarana olahraga dan ruang terbuka hijau karena terpusat dan efisien dalam tata ruang kota.
Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Hadi Supratikta, menyatakan bahwa arahan Mendagri sangat relevan dan dapat diterapkan secara luas di berbagai wilayah.
Namun, ia mengingatkan bahwa pembangunan hunian vertikal harus mempertimbangkan kondisi geografis Indonesia yang terfragmentasi antara wilayah kontinental dan kepulauan.
Menurutnya, penataan permukiman harus disesuaikan dengan kondisi geografis, sosial, dan ekonomi daerah masing-masing.
Wilayah pesisir, misalnya, menghadapi keterbatasan lahan dan kerentanan terhadap kenaikan air laut, sementara masyarakat pesisir sangat tergantung pada laut untuk mata pencaharian mereka.
"Pembangunan desain kontekstual harus mempertimbangkan aspek hidro-oseanografi, mitigasi bencana (misalnya tsunami atau banjir rob), dan potensi adanya penurunan tanah akibat tidak adanya larangan pengambilan air tanah yang berlebihan untuk industri, dan mempertimbangkan kearifan lokal," ia mengungkapkan.
Strategi Implementasi dan Mitigasi Risiko
Untuk daerah pegunungan yang padat penduduk, pembangunan rusun tidak bisa dilakukan secara masif karena topografi yang curam dan risiko longsor.
"Pembangunan rusun di daerah pegunungan harus sangat hati-hati dan tidak masif karena risiko geologis. Hunian vertikal lebih cocok untuk kota-kota di dataran tinggi yang padat dan memiliki lahan terbatas, namun dengan perencanaan mitigasi bencana yang ketat," ungkap Hadi.
Hunian vertikal di kawasan pegunungan disarankan tidak lebih dari empat lantai dan dibangun di pusat kegiatan lokal untuk mengendalikan permukiman horizontal dan menjaga kelestarian lahan pertanian dan hutan.
Diperlukan peta jalan yang jelas agar arahan Mendagri dapat diimplementasikan secara strategis oleh pemda dengan mengatasi hambatan regulasi, pendanaan, dan penerimaan sosial.
Penyederhanaan tata laksana perizinan pembangunan rumah susun menjadi hal penting karena prosesnya dinilai masih panjang dan rumit.
"Perlu ada insentif tata ruang, yaitu Pemda dapat memberikan insentif khusus (seperti kemudahan izin atau pengurangan pajak) kepada pengembang, baik swasta maupun BUMN/BUMD, yang membangun rusun umum atau subsidi untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR)," ungkap Hadi.
Lahan milik negara atau daerah yang tidak dimanfaatkan secara optimal dapat dialihfungsikan menjadi lokasi pembangunan rumah susun.
Rencana penataan kawasan melalui pembangunan rusun dapat dilakukan dengan skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
"Skema KPBU adalah skema pembayaran availability payment (AP) untuk penyediaan dan pembiayaan Rusunawa, sehingga mengurangi beban anggaran langsung Pemda," jelasnya.
Pemda juga diminta menyiapkan unit pengelola rusun yang profesional guna menjamin kebersihan, pemeliharaan, dan keberlanjutan fungsi hunian.
"Penting juga, hunian vertikal ini memprioritaskan warga terdampak, yaitu memberikan hak prioritas kepada masyarakat yang direlokasi dari kawasan kumuh atau rawan bencana untuk menempati rusun yang dibangun," tutup Hadi.
- Penulis :
- Leon Weldrick







