
Pantau - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memperluas kerja sama internasional dengan otoritas pajak negara mitra untuk mengoptimalkan penerimaan negara serta mempersempit ruang gerak pelaku kejahatan perpajakan.
Salah satu negara mitra utama dalam kerja sama ini adalah Jepang yang memiliki peran strategis dalam pengawasan pajak global.
Kolaborasi antara Indonesia dan Jepang mencakup bantuan penagihan pajak serta penandatanganan Nota Kesepahaman khusus dalam penanganan tindak pidana perpajakan lintas negara.
Jepang juga aktif mendorong Indonesia memperkuat inisiatif kawasan Asia agar negara-negara di kawasan tidak menjadi tempat pelarian bagi penjahat pajak.
“Ini juga tentunya menghindari negara-negara yang menjadi tempat pelarian bagi penjahat pajak, jadi area mereka untuk lari itu makin sempit karena kita sudah kerja sama yang kuat,” ungkap DJP.
Jepang saat ini menjabat sebagai ketua OECD Task Force on Tax Crime yang turut memperkuat posisi negara itu dalam kolaborasi pemberantasan kejahatan perpajakan.
Kerja Sama Regional Diperluas, Hadapi Tantangan Sistem Pajak Berbeda
Selain Jepang, DJP juga memperkuat kerja sama dengan Malaysia, terutama karena tingginya aktivitas investasi lintas batas antara kedua negara.
Banyak wajib pajak Indonesia berinvestasi di Malaysia, begitu pula sebaliknya, yang menjadikan kerja sama perpajakan antarnegara semakin penting.
Namun, DJP menghadapi tantangan dalam implementasi bantuan penagihan pajak dengan Malaysia karena perbedaan prinsip perpajakan yang dianut kedua negara.
Indonesia menerapkan asas worldwide income, yaitu memajaki penghasilan dari seluruh dunia, sedangkan Malaysia hanya memajaki penghasilan dari dalam wilayahnya atau asas territorial.
“Karena mereka secara hukum itu hanya territorial, ya tentu kita harus menghargai itu,” ujar perwakilan DJP.
Untuk menjembatani perbedaan tersebut, DJP mendorong pelaksanaan Advance Pricing Agreement (APA) guna meminimalkan sengketa transfer pricing, pertukaran informasi perpajakan, serta berbagi pengetahuan antarlembaga.
Adopsi Teknologi Canggih dan Insentif Pajak Inovatif
Dari sisi teknologi, DJP mengadopsi praktik terbaik dari Korea Selatan, Thailand, dan Singapura dalam mendeteksi penghindaran pajak.
Negara-negara tersebut telah lebih dahulu menerapkan algoritma canggih dan teknologi machine learning untuk mendeteksi pola penghindaran pajak baik yang bersifat ilegal (tax evasion) maupun legal (tax avoidance).
Sistem Coretax yang tengah dikembangkan DJP akan diperkuat dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
Teknologi AI ini akan digunakan untuk menganalisis data terstruktur dan tidak terstruktur serta menandai anomali (flagging abnormalities) yang akan ditindaklanjuti oleh auditor maupun penyidik.
Selain itu, kerja sama bilateral dan multilateral DJP juga mencakup implementasi Global Minimum Tax untuk menciptakan kesetaraan dalam penarikan pajak korporasi global.
DJP juga belajar dari keberhasilan Singapura dalam menerapkan insentif refundable investment credit sebagai pengganti skema tax holiday dalam menarik investasi asing.
“Karena kita juga akhirnya berkompetisi secara sehat menyediakan insentif untuk menarik investasi asing yang masuk rezimnya sekarang sudah tidak lagi tax holiday, tetapi refundable investment credit,” jelas DJP.
- Penulis :
- Shila Glorya





