Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Hari Tanah Sedunia 2025: Tanah yang Sakit, Bencana yang Meningkat

Oleh Aditya Yohan
SHARE   :

Hari Tanah Sedunia 2025: Tanah yang Sakit, Bencana yang Meningkat
Foto: (Sumber : Pengendara sepeda motor melewati jalan bekas longsor yang telah dibersihkan di Kelok 44, Maninjau, Agam, Sumatera Barat, Sabtu (6/12/2025). Akses jalan darat dari Agam menuju Bukittinggi via Kelok 44 dan sebaliknya yang sempat tertimbun longsor sejak Rabu (26/11) kini telah berangsur normal dan bisa dilalui maksimal kendaraan roda empat setelah pemerintah daerah setempat menurunkan alat berat. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/nym. (ANTARA FOTO/WAHDI SEPTIAWAN))

Pantau - Dunia memperingati Hari Tanah Sedunia (World Soil Day) pada 5 Desember 2025, sebagaimana ditetapkan oleh FAO dan Majelis Umum PBB sejak 2014. Di Indonesia, momentum ini menjadi pengingat pentingnya kesehatan tanah di tengah meningkatnya bencana alam yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir.

Tanah Rusak, Risiko Bencana Meningkat

Bencana seperti banjir bandang, tanah longsor, jalan amblas, penurunan muka air tanah, dan tanah bergerak tidak bisa lagi dipandang sebagai fenomena alam biasa.

Pada akhir November 2025, BMKG mengeluarkan peringatan dini cuaca ekstrem untuk wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

Peringatan ini terkait potensi bencana hidrometeorologi akibat Monsun Asia dan dominasi angin baratan yang membawa massa udara lembab dari Samudra Hindia.

Ketika massa udara lembab tersebut bertemu topografi pegunungan Bukit Barisan, terjadi proses orographic lifting yang memicu pembentukan awan hujan lebat.

Fenomena Indian Ocean Dipole negatif dan aktivitas Gelombang Rossby Ekuatorial turut memperkuat awan konvektif di wilayah pesisir dan perbukitan, menyebabkan peningkatan risiko tanah longsor, banjir bandang, genangan luas, angin kencang, dan sambaran petir.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat korban jiwa akibat bencana di tiga provinsi telah mencapai sedikitnya 600 orang meninggal dan lebih dari 200 lainnya masih hilang.

Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) mengingatkan bahwa kerusakan tanah berkontribusi besar terhadap bencana-bencana ini.

Tanah bukan hanya media tanam, tetapi fondasi kehidupan yang menopang ekosistem dan pembangunan.

Ketika tanah kehilangan fungsi hidrologi, fisik, dan biologisnya, maka pembangunan kehilangan pijakan dan risiko bencana meningkat drastis.

Tanah Sakit Akibat Hilangnya Bahan Organik

Kerusakan tanah ditandai dengan turunnya kemampuan tanah menahan air atau water holding capacity (WHC).

Saat WHC menurun, air hujan tak tertahan dan langsung mengalir di permukaan, menyebabkan banjir dan erosi.

Laporan BRMP Kementerian Pertanian mencatat bahwa antara 2020 hingga 2023, sekitar 52% daerah aliran sungai di Pulau Jawa mengalami penurunan infiltrasi lebih dari 30%.

Penurunan ini disebabkan oleh menurunnya kualitas fisik tanah, khususnya hilangnya bahan organik.

Tanah dengan kandungan C-organik di bawah 2% dikategorikan sebagai tanah sakit.

Pemetaan nasional menunjukkan lebih dari 60% lahan pertanian Indonesia memiliki C-organik di bawah 2%.

Faktor utama penyebabnya adalah eksploitasi lahan tanpa upaya konservasi serta alih fungsi hutan menjadi ladang atau perkebunan tanpa vegetasi pelindung.

Vegetasi hutan yang tidak dikelola bisa kehilangan 30–70% bahan organik tanahnya dalam 20–50 tahun.

Data BPS 2014–2023 menunjukkan penyusutan luas hutan seiring dengan bertambahnya kawasan non-hutan seperti permukiman dan perkebunan.

Global Forest Watch mencatat luas hutan alam Indonesia yang semula sekitar 94 juta hektare pada 2020 menyusut sebesar 260 ribu hektare hingga 2024, dengan emisi karbon mencapai 190 juta ton CO₂.

KLHK mencatat antara 2015–2022, penyusutan hutan terluas terjadi di:

  • Aceh: 0,7 juta hektare
  • Sumatera Utara: 39.864 hektare
  • Sumatera Barat: 25.435 hektare

Pergeseran fungsi hutan menjadi area pertanian dan perkebunan menjadi penyebab utama kerusakan tanah, yang memperbesar kerentanan terhadap bencana.

Penulis :
Aditya Yohan