
Pantau - Anggota Komisi IV DPR RI, Robert J. Kardinal, mengajak seluruh elemen masyarakat untuk memberikan masukan dalam proses revisi Undang-Undang Kehutanan guna mengatasi persoalan tata kelola hutan dan kerusakan lingkungan yang semakin parah.
Ajak Kampus dan LSM, DPR Bentuk Panja Revisi UU
Robert menyampaikan bahwa Komisi IV DPR telah membentuk Panitia Kerja (Panja) Revisi UU Kehutanan.
"Komisi IV sudah membentuk Panja Revisi UU Kehutanan. Kami mengundang kampus, LSM, Walhi, Greenpeace, semua pihak yang peduli. Ini penting untuk masa depan pengelolaan hutan kita," ujarnya.
Ia menyoroti bahwa kerusakan lingkungan dan banyaknya kayu hanyut saat banjir adalah bukti nyata ketidakteraturan dalam pengelolaan hutan.
Masalah utama, menurut Robert, berada pada praktik penebangan dan pemanfaatan kayu oleh berbagai jenis perusahaan, termasuk perusahaan sawit, HPH, dan HTI.
Ia menilai perusahaan sawit sebagai yang paling merusak, karena membuka lahan tanpa tebang pilih dan mencabut pohon hingga ke akarnya.
"Yang paling parah itu sawit. Mereka tebang habis, sampai akarnya dicabut. Banyak yang membuat IPK (izin pemanfaatan kayu) untuk mengakali aturan, supaya kayu yang masih bermanfaat bisa dijual kembali," ungkapnya.
Soroti Reboisasi yang Mandek dan Dana yang Tak Efektif
Robert menyatakan bahwa tidak adanya reboisasi menjadi penyebab utama kerusakan hutan, lebih besar dari persoalan kayu hanyut itu sendiri.
Di era Orde Baru, Dana Jaminan Reboisasi (DJR) dikelola oleh Kementerian Kehutanan dan daerah untuk penanaman kembali.
Namun, sejak diterbitkannya UU Cipta Kerja tahun 2014, dana tersebut dialihkan ke Kementerian Keuangan dan tidak lagi digunakan untuk tujuan awalnya.
"Coba cari perusahaan HPH yang betul-betul lakukan reboisasi, tidak ada," tegasnya.
Ia juga menyebut dana provinsi sumber daya hutan (PSDH) belum dikelola maksimal dan perlu dibenahi dalam revisi UU.
Tumpang Tindih Kebijakan dan Lemahnya Kontrol Izin
Robert menyoroti persoalan tumpang tindih kebijakan, terutama dalam perubahan status kawasan hutan menjadi APL (Area Penggunaan Lain).
Dulu, proses tersebut harus melibatkan Tim Terpadu (Timdu) yang terdiri dari 19 instansi bersama DPR.
Namun kini, banyak daerah langsung menurunkan status kawasan hutan tanpa mekanisme Amdal yang memadai.
Hal ini memberi kewenangan besar pada kepala daerah untuk menerbitkan izin seperti PHAT dan IPK tanpa kajian lingkungan menyeluruh.
Ia juga mengingatkan tentang kebijakan larangan ekspor kayu log sejak 1990-an yang bertujuan hilirisasi, namun implementasinya belum berjalan maksimal.
Usulan Kunci: Dana Reboisasi Kembali ke Kementerian Kehutanan
Robert mendorong agar revisi UU Kehutanan mengatasi kelemahan regulasi saat ini.
Salah satu usulan utamanya adalah mengembalikan pengelolaan dana reboisasi ke Kementerian Kehutanan, serta memperjelas pembagian anggaran antara pusat, provinsi, dan kabupaten.
"Seperti di Papua, dapil saya, itu sudah jelas pengaturan dana reboisasi itu 60 persen yang berasal dari dana bagi hasil, tapi daerah lain kan belum. Ini harus diperbaiki," ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa solusi untuk persoalan kehutanan bukan saling menyalahkan, tetapi memperbaiki sistem secara menyeluruh berbasis partisipasi masyarakat.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf





