
Pantau - Pemerintah menaikkan insentif bagi guru honorer sebesar Rp100 ribu per bulan mulai 1 Januari 2026, sehingga total insentif kini mencapai Rp400 ribu per bulan. Kebijakan ini disambut positif oleh Anggota DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, namun ia mengingatkan agar tenaga administratif sekolah juga tidak diabaikan.
Tambahan Rp100 Ribu Dinilai Positif tapi Belum Ideal
Menurut Saleh, kenaikan ini merupakan langkah positif meskipun jumlahnya belum sepenuhnya mencerminkan kebutuhan riil guru honorer di lapangan.
“Kalau dilihat nilai Rp100 ribunya tentu tidak begitu bersemangat. Tetapi kalau dikalikan dengan jumlah guru honorer, jumlah ini tentu sangat besar. Berdasarkan data, jumlah guru honorer mencapai 2,6 juta orang atau sekitar 56 persen dari total 3,7 juta guru di Indonesia. Artinya, tambahan Rp100 ribu per bulan ini akan membuat Kemendikdasmen mengeluarkan anggaran sekitar Rp3,12 triliun per tahun,” jelas Saleh.
Ia menilai bahwa tambahan insentif ini bisa membantu guru honorer dalam memenuhi kebutuhan pokok mereka.
“Guru honorer tentu sangat bersyukur. Paling tidak, ada tambahan anggaran untuk menutupi kebutuhan dasar. Apakah ini sudah ideal? Tentu belum. Kemendikdasmen harus bekerja lebih keras agar ke depan insentif ini bisa ditingkatkan lagi,” tambahnya.
Tenaga Administratif Sekolah Tak Boleh Terlupakan
Saleh menegaskan bahwa kebijakan peningkatan insentif ini belum menyentuh tenaga administratif sekolah yang juga memiliki peran vital dalam operasional pendidikan.
Ia menjelaskan bahwa tenaga administratif memiliki beban kerja besar, mulai dari menyiapkan kelas, absensi, alat tulis dan peraga, hingga pengelolaan dana BOS.
“Jika ada kekeliruan, mereka pula yang pertama kali diperiksa,” ungkapnya.
Mereka juga mengurus pembayaran SPP siswa yang sangat menentukan kelancaran aktivitas sekolah.
“Kalau SPP tidak lancar, otomatis semua aktivitas sekolah akan terganggu. Karena itu, mau tidak mau, ikhlas atau tidak, mereka harus sabar menjalani semuanya,” katanya.
Saleh menyayangkan bahwa tenaga administratif tidak pernah mendapatkan tunjangan sertifikasi atau skema kesejahteraan lain seperti halnya guru.
“Tenaga administratif pendidikan tidak pernah menerima tunjangan sertifikasi. Bahkan, dalam setiap pembahasan kesejahteraan guru, mereka seolah sengaja ditinggalkan. Padahal mereka juga harus membiayai kebutuhan keluarganya yang tidak kalah berat,” tegasnya.
Akibat tekanan ekonomi, sejumlah tenaga administratif bahkan nekat mengajukan tunjangan sertifikasi meskipun tidak sesuai aturan.
Hal ini membuat sekolah berada dalam dilema antara menegakkan aturan atau mempertahankan staf administratif yang sangat dibutuhkan.
Saleh meminta Kemendikdasmen lebih aktif dalam melindungi dan memberdayakan tenaga administratif pendidikan.
“Mereka adalah pejuang kemajuan pendidikan kita. Mereka tidak boleh ditinggalkan, apalagi dilupakan. Sama seperti guru, mereka juga pahlawan tanpa tanda jasa,” ujarnya.
Ia juga mendorong agar pemerintah membuka ruang pemanfaatan dana BOS untuk peningkatan kesejahteraan tenaga administratif.
“Keberpihakan harus dibuktikan dengan tindakan nyata. Narasinya boleh kecil, tetapi dampaknya harus benar-benar terasa,” pungkas Saleh.
- Penulis :
- Gerry Eka







