HOME  ⁄  Nasional

Status Bencana Nasional Bukan Soal Label: Mengurai Rasionalitas dan Tantangan Tata Kelola Kebencanaan

Oleh Gerry Eka
SHARE   :

Status Bencana Nasional Bukan Soal Label: Mengurai Rasionalitas dan Tantangan Tata Kelola Kebencanaan
Foto: (Sumber: Foto udara material bebatuan menutupi kawasan pesawahan dan rumah akibat banjir bandang tiga pekan lalu di Nagari Sungai Batang, Agam, Sumatera Barat, Jumat (26/12/2025). Pemkab Agam memperpanjang masa tanggap darurat bencana banjir bandang dan longsor mulai 23 Desember 2025 hingga 5 Januari 2026 karena masih banyak kegiatan yang harus dilaksanakan dalam penanganan bencana. ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra.)

Pantau - Perdebatan mengenai status bencana nasional di Indonesia menunjukkan pentingnya memahami bahwa bencana bukan sekadar peristiwa alam, melainkan pertemuan antara hukum alam dan kerentanan manusia yang dipengaruhi oleh kapasitas kebijakan dan tata kelola negara.

Bencana sebagai Ujian Rasionalitas Negara

Secara ontologis, bencana tidak dapat dipahami hanya sebagai fenomena alam, melainkan sebagai interaksi antara hukum-hukum alam yang impersonal dengan kerentanan manusia yang dibentuk oleh kebijakan, tata kelola, dan kapasitas institusi.

Filsafat modern dari Immanuel Kant hingga Hannah Arendt menempatkan manusia sebagai subjek rasional yang bertanggung jawab atas konsekuensi tindakannya di ruang publik.

Kepemimpinan Jepang dalam menghadapi bencana menekankan bahwa negara tetap bertanggung jawab melindungi warganya, meskipun tidak dapat mencegah kekuatan alam.

Dengan demikian, bencana harus dilihat sebagai ujian rasionalitas kebijakan negara, bukan semata-mata ujian keberanian politik.

Sayangnya, perdebatan mengenai tidak ditetapkannya status bencana nasional untuk beberapa wilayah terdampak, seperti di Pulau Sumatera, seringkali dibingkai secara emosional seolah negara absen, padahal pemahamannya memerlukan penelaahan lebih jernih dan faktual.

Pemahaman terhadap arti "bencana nasional" dalam tata kelola modern harus mempertimbangkan aspek politik, ekonomi, dan fiskal, bukan hanya simbolik.

Status Bencana Nasional: Kewenangan, Konsekuensi, dan Rasionalitas Kebijakan

Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 memang tidak secara eksplisit menyebutkan frasa "bencana nasional", namun Pasal 7 ayat (2) menyatakan bahwa pemerintah pusat berwenang menetapkan status dan tingkat bencana.

Penetapan status tersebut adalah kewenangan Presiden yang mempertimbangkan dampak dan kapasitas penanganan suatu wilayah.

Bencana sendiri diklasifikasikan menjadi bencana alam, non-alam, dan sosial, namun penetapan status nasional tidak bergantung pada jenisnya, melainkan pada skala dampak dan kemampuan daerah dalam menangani.

Dalam praktiknya, menurut PP No. 21 Tahun 2008, penetapan status nasional mempertimbangkan beberapa aspek utama, seperti jumlah korban jiwa, kerusakan fisik, dampak sosial-ekonomi, luas wilayah terdampak, kapasitas daerah, dan kebutuhan koordinasi lintas kementerian.

Penetapan status bencana nasional membawa sejumlah konsekuensi struktural, antara lain:

Pemerintah pusat menjadi penanggung jawab utama.

APBN dapat digunakan lebih fleksibel.

Kewenangan bergeser dari daerah ke pusat.

BNPB menjadi leading sector nasional.

Dalam perspektif ekonomi-politik, status bencana nasional bukan sekadar bentuk empati, tetapi keputusan strategis tingkat tinggi yang menyangkut distribusi kekuasaan, sumber daya, dan tanggung jawab.

Dalam The Political Economy of Large Natural Disasters, J.M. Albala-Bertrand menyatakan bahwa respons negara terhadap bencana mencerminkan struktur kekuasaan yang ada.

Teori Fiscal Federalism (Oates, 1972) menjelaskan bahwa eskalasi status ke pusat menandakan kapasitas daerah dinilai tidak memadai.

Penetapan status ini juga menjadi evaluasi atas tata kelola lokal dalam konteks multi-level governance dan manajemen bencana yang terdesentralisasi.

Dalam konteks ekonomi, status nasional berfungsi sebagai sinyal kebijakan (signaling theory) kepada pasar.

Hal ini memengaruhi persepsi risiko wilayah, respons sektor asuransi, keputusan investasi, dan keberlanjutan proyek pembangunan.

Dimensi paling krusial dalam penetapan status ini adalah dimensi fiskal, yang sering luput dari perhatian publik.

Penetapan status nasional menempatkan APBN sebagai penanggung risiko fiskal utama dan membuka ruang untuk belanja darurat, realokasi lintas kementerian, serta potensi tekanan terhadap defisit.

Menurut literatur Fiscal Risk Management (Brixi dan Schick, 2002; Cevik dan Huang, IMF, 2018), bencana adalah contingent liabilities, yaitu kewajiban fiskal bersyarat yang bisa menjadi beban aktual ketika negara mengambil keputusan tertentu.

Karena itu, negara harus bersikap selektif dan rasional.

Tidak semua bencana besar harus langsung berstatus nasional jika masih bisa ditangani dengan dukungan BNPB, APBD, dan APBN secara terukur.

Negara tidak otomatis menanggung seluruh kerugian bencana kecuali ketika memilih untuk mengeskalasi status menjadi nasional.

Ketika status ditingkatkan, contingent liabilities berubah menjadi kewajiban fiskal aktual, sehingga keputusan ini menuntut kehati-hatian tinggi, bukan sekadar simbol keberanian.

Dalam konteks ini, kehati-hatian Presiden lebih tepat disebut sebagai policy restraint — yaitu sikap menahan eskalasi status formal sambil tetap memberikan intervensi substantif melalui pengerahan TNI–Polri, logistik nasional, bantuan sosial, dan program rekonstruksi.

"Keberanian kepemimpinan modern tidak diukur dari kecepatan memberi label, melainkan dari kemampuan menimbang risiko jangka pendek dan panjang secara rasional dan berbasis bukti," ungkapnya.

Menuju Kebijakan Bencana yang Rasional dan Berbasis Bukti

Dua agenda mendesak perlu diperkuat ke depan.

Pertama, komunikasi kebijakan kebencanaan kepada publik harus diperjelas, agar masyarakat memahami bahwa tidak adanya status nasional tidak berarti negara absen.

Kedua, dibutuhkan indikator objektif dan transparan dalam menetapkan status bencana, berdasarkan dampak sosial-ekonomi dan risiko fiskal, bukan tekanan opini sesaat.

Bencana adalah keniscayaan ontologis yang akan terus terjadi.

Yang membedakan negara kuat dan negara rapuh adalah cara pengambilan keputusan strategis — apakah berdasarkan emosi atau pengetahuan.

Pada akhirnya, di sinilah bencana, negara, dan rasionalitas kebijakan bertemu: bahwa riset, nalar akademik, dan kepemimpinan berbasis bukti harus menjadi fondasi kebijakan publik Indonesia di masa depan.

Penulis :
Gerry Eka