
Pantau - Program transmigrasi kini memasuki era baru melalui kebijakan Transmigrasi 5.0, yang dikembangkan oleh Kementerian Transmigrasi dengan pendekatan berbasis data, sains, dan kolaborasi lintas sektor untuk menjawab tantangan sosial ekonomi yang semakin kompleks.
Pendekatan konvensional dinilai tidak lagi memadai karena lemahnya akurasi data, minimnya konektivitas rantai pasok, dan pembangunan wilayah yang kurang terarah.
Transformasi ini berangkat dari perubahan pola pikir dalam perencanaan kebijakan, dengan menjadikan transmigrasi sebagai science-based policy.
Kementerian Transmigrasi menggandeng BRIN dan berbagai perguruan tinggi untuk memetakan potensi wilayah transmigrasi secara presisi, termasuk faktor kontur tanah, kesesuaian komoditas, dan risiko bencana.
Kepala BRIN, Arif Satria, menegaskan bahwa transmigrasi masa depan harus memenuhi prinsip resiliensi, keberlanjutan, dan kemanusiaan.
Ekspedisi Patriot: Kolaborasi Riset di Lapangan
Sebagai langkah nyata, pemerintah membentuk Tim Ekspedisi Patriot (TEP) dan menerjunkan 2.000 peneliti dari tujuh perguruan tinggi nasional ke 154 kawasan transmigrasi selama Agustus–Desember 2025.
Para peneliti hidup bersama warga transmigran untuk menggali persoalan riil dan potensi ekonomi setempat.
Dari hasil temuan TEP, lebih dari 70 persen kawasan belum memiliki infrastruktur dasar yang berfungsi optimal, dan lebih dari 60 persen komoditas unggulan masih dijual dalam bentuk mentah.
Tingkat ketergantungan petani terhadap tengkulak juga masih tinggi, yakni mencapai 65 persen.
Akibatnya, nilai tambah ekonomi justru lebih banyak dinikmati oleh pihak luar.
Namun demikian, berbagai potensi ekonomi besar berhasil diidentifikasi, seperti:
Industri sagu di Bomberay, Fakfak
Energi terbarukan dan pelabuhan dagang internasional di Barelang
Perkebunan dan industri kemiri di Aceh
Peternakan sapi di NTT
Perkebunan durian di Sulawesi
Perkebunan kelapa di Halmahera
Komoditas tebu, perikanan, dan kelautan di Merauke
Selain itu, TEP juga terlibat langsung dalam pembangunan infrastruktur penting, antara lain:
Pengeboran air tanah oleh TEP ITB di Jayapura
Rekayasa hidrolika oleh ITS dan UGM di Flores Timur
Gudang beras pay-per-use oleh UI dan Perum Bulog
Stasiun cuaca otomatis oleh IPB di Morotai
Rumah kaca oleh UNPAD di Batam
Peningkatan rantai pasok pakan dan sapi premium oleh UNDIP di NTT
Revisi UU Transmigrasi Jadi Kunci Regulasi Baru
Transformasi transmigrasi juga diiringi dengan langkah reformasi hukum melalui revisi UU Transmigrasi yang tengah disusun pemerintah.
Revisi ini menyoroti pentingnya tata kelola lahan yang adil, setelah selama ini konflik lahan menjadi kendala utama bagi transmigran.
Pemerintah mengusulkan skema kepemilikan lahan berbasis Hak Guna Usaha (HGU) di atas Hak Pengelolaan (HPL) transmigrasi, dengan ketentuan 80 persen harus dimiliki oleh masyarakat dan pemerintah daerah.
Korporasi tidak boleh mendominasi penguasaan lahan.
Model kepemilikan juga diarahkan secara komunal untuk memperkuat gotong royong masyarakat transmigran.
Selain itu, revisi UU memungkinkan pembangunan permukiman vertikal sebagai alternatif rumah tapak.
Tujuannya adalah menciptakan kawasan hunian yang terintegrasi dengan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan aktivitas ekonomi.
Pemerintah berharap kawasan transmigrasi dapat menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru yang mampu menopang kemajuan Indonesia ke depan.
- Penulis :
- Gerry Eka








