Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Haedar Nashir Serukan Empati, Keutuhan Bangsa, dan Refleksi Spiritual di Momen Tahun Baru 2026

Oleh Gerry Eka
SHARE   :

Haedar Nashir Serukan Empati, Keutuhan Bangsa, dan Refleksi Spiritual di Momen Tahun Baru 2026
Foto: (Sumber: Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir. ANTARA/HO-Muhammadiyah.)

Pantau - Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, menyerukan agar masyarakat menyambut Tahun Baru 2026 dengan semangat solidaritas, spiritualitas, dan keadaban sosial, tanpa pesta pora maupun euforia berlebihan, sebagai wujud empati terhadap saudara sebangsa yang tertimpa musibah.

Tahun Baru sebagai Momentum Kebangkitan dan Keutuhan Sosial

Dalam pernyataannya, Haedar Nashir mengimbau agar masyarakat tidak merayakan tahun baru dengan kembang api atau pesta pora yang berlebihan.

Ia menekankan bahwa suasana tahun baru sebaiknya menjadi momen untuk menumbuhkan empati dan solidaritas, bukan sekadar perayaan seremonial.

"Tahun 2026 diharapkan diawali dengan semangat baru, ketangguhan, dan persatuan, serta hidup yang lebih produktif dan bermakna," pesannya.

Haedar juga mengajak seluruh elemen bangsa untuk memperkuat hikmah kebijaksanaan dalam berpikir, bertindak, dan memperdalam spiritualitas.

Pentingnya Etika Digital, Spirit Ketuhanan, dan Evaluasi Pascabencana

Lebih lanjut, Haedar mengingatkan tentang pentingnya menjaga hubungan dengan Tuhan (hablum minallah), serta menjadikan Pancasila sebagai fondasi utama dalam membangun kehidupan berbangsa yang rukun dan kohesif.

Ia juga menyinggung perlunya evaluasi menyeluruh terhadap ekosistem Indonesia pascabencana, dengan pendekatan multidisipliner dan berbasis riset.

"Penataan ulang Indonesia secara sistemik di bidang politik, ekonomi, sosial, dan lingkungan sangat penting dilakukan," tegasnya.

Dalam era media sosial yang semakin dominan, Haedar mengingatkan bahwa platform digital tidak boleh menjadi sumber konflik dan perpecahan.

Ia menyerukan agar masyarakat lebih menahan diri dalam menyampaikan pendapat, menjaga persatuan, dan memilah informasi secara cerdas.

Haedar menyoroti potensi anarki sosial jika media sosial tidak dikelola secara bijak, termasuk bahaya penyebaran informasi sensitif yang tidak sahih.

Ia menutup pernyataannya dengan menekankan pentingnya kedewasaan dan kearifan kolektif dalam menyikapi dinamika bangsa.

"Bangsa yang kuat adalah bangsa yang mampu menjaga harmoni, empati, dan keadaban — bahkan di tengah bencana dan tantangan sosial," tandasnya.

Penulis :
Gerry Eka