
Pantau.com - Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas, mengatakan, perlunya mengidentifikasi ulang soal radikalisme karena saat ini banyak orang salah kaprah dalam memahami istilah tersebut.
"Ya, definisinya dulu apa (itu radikalisme), diperjelas. Apakah ada orang pakai celana cingkrang, memaksakan? Tidak ada, berarti tidak ada radikal dong. Mahasiswa saya ada yang pakai cadar, justru jika diskusi, hidup, dengan saya dibanding yang tidak," kata Anwar ditemui di Jakarta, Selasa (5/11/2019).
Baca Juga: Materi Soal Radikalisme Masuk Pelatihan Dasar CPNS
Anwar mengungkapkan, memang ada kecenderungan istilah radikalisme kerap disangkut pautkan dengan agama atau kepada orang-orang yang menggunakan pakaian tertentu. Padahal pakaian hanya nampak bagian luarnya saja tetapi soal pikiran dan tindakan belum pasti beraliran kekerasan.
Anwar justru mempertanyakan bagi kalangan yang menjustifikasi orang radikal dari pakaiannya.
"Mungkin orang yang dianggap memaksakan pendapatnya kehendaknya kepada orang lain itu radikal. Apa contoh radikal? Kalau dari pakaian, apakah yang menggunakan itu dia pernah maksa orang yang pakai cadar," ungkapnya.
Menurutnya, kini istilah radikal kerap tertukar dengan ekstrem. Jika digunakan pada makna positif, istilah radikal dapat bermakna baik karena berarti setara dengan revolusioner. Revolusioner itu bisa seperti mengubah kebiasaan buruk menjadi baik.
Dengan kata lain, Anwar ingin menjelaskan penggunaan istilah radikal itu bisa juga dalam makna positif.
"Ekstrem dengan radikal sama? Beda, kalau cara berfikir radikal itu dimaksud ingin mengubah secara revolusioner," tuturnya.
Baca Juga: Wamenag: Seluruh Guru Agama Islam, Jangan Ada Radikalisme di Antara Kita
Untuk itu, Sekjen MUI berpendapat pelarangan cadar dan celana cingkrang di Kementerian Agama dengan alasan memberantas radikalisme, sejatinya kurang tepat.
"Kalau pemerintah menentang penggunaan cadar, berarti menentang Pasal 29 Ayat 1 UUD 1945. Menurut saya, kalau ada larangan pemakaian cadar berdasarkan pasal 29 berarti pemerintah telah melakukan tindakan radikalisme karena memaksakan. Makanya, ada state radicalism dan state terorism," tandasnya.
- Penulis :
- Bagaskara Isdiansyah