HOME  ⁄  News

Larangan Drone di Bromo: Upaya Konservasi atau Ruang Aman Ladang Ganja?

Oleh Muhammad Rodhi
SHARE   :

Larangan Drone di Bromo: Upaya Konservasi atau Ruang Aman Ladang Ganja?
Foto: Gunung Bromo, salah satu destinasi wisata terbaik di Indonesia untuk merayakan Tahun Baru 2025. (wonderfulimages.kemenparekraf.go.id)

Pantau - Penemuan 59 titik ladang ganja di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) mengejutkan publik. Kasus ini memunculkan spekulasi mengenai efektivitas pengawasan kawasan konservasi, terutama setelah munculnya aturan larangan penggunaan drone.

Apakah kebijakan tersebut memang demi kepentingan konservasi, atau justru memberi ruang bagi aktivitas ilegal?

Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Panggah Susanto menyoroti temuan ini dan meminta pemerintah memperketat pengawasan agar kasus serupa tidak terulang.

Baca juga: TNBTS Bantah Larangan Drone Terkait Ladang Ganja di Gunung Semeru

"Komisi IV meminta pemerintah khususnya aparat untuk melakukan pengawasan ketat dan menindak tegas, demi generasi yang lebih sehat dan produktif," kata Panggah kepada wartawan, Rabu (19/3/2025).

Penemuan ladang ganja ini mengundang spekulasi, terutama di media sosial, terkait larangan penggunaan drone di kawasan TNBTS. Beberapa pihak mempertanyakan apakah aturan tersebut justru memberi ruang bagi praktik ilegal seperti penanaman ganja.

Kepala Bidang Wilayah II TNBTS Decky Hendra menegaskan bahwa keberadaan ladang ganja terungkap berkat penggunaan drone dalam pemetaan kawasan konservasi.

"Lokasi ladang ganja yang ditemukan oleh petugas ada 59 titik yang berada di Desa Argosari, Kecamatan Senduro, Lumajang," ujar Decky, Selasa (18/3/2025).

Ia juga menambahkan bahwa temuan ini membuktikan bahwa teknologi drone justru membantu aparat dalam mengidentifikasi dan memberantas aktivitas ilegal di kawasan taman nasional.

Terungkap di Sidang: Fakta di Balik Ladang Ganja TNBTS

Fakta mengenai 59 titik ladang ganja ini juga terungkap dalam persidangan kasus narkotika yang digelar di Pengadilan Negeri Lumajang. Dalam sidang tersebut, terungkap bahwa jaringan pengedar ganja memanfaatkan medan sulit di kawasan TNBTS untuk menyembunyikan ladang mereka dari pantauan aparat.

Salah satu terdakwa dalam kasus ini mengakui bahwa lokasi ladang sengaja dipilih di area terpencil yang sulit diakses tanpa teknologi pemetaan udara. Kesaksian tersebut memperkuat peran penting drone dalam mengungkap keberadaan ladang ganja yang sebelumnya sulit dideteksi.

Hakim ketua sidang menyebutkan bahwa kerja sama antara TNBTS dan kepolisian menjadi faktor utama dalam keberhasilan pengungkapan kasus ini. "Tanpa penggunaan drone dan koordinasi lintas instansi, keberadaan ladang ini mungkin masih tersembunyi hingga sekarang," ujar hakim dalam persidangan.

Larangan Drone: Alasan Keselamatan atau Ada yang Ditutup-Tutupi?

Balai Besar TNBTS membantah bahwa larangan penggunaan drone bagi pengunjung berkaitan dengan temuan ladang ganja. Kepala Balai Besar TNBTS Rudijanta Tjahja Nugraha menjelaskan bahwa aturan tersebut telah berlaku sejak 2019.

"Aturan larangan penerbangan drone di jalur pendakian Gunung Semeru sudah berlaku sejak 2019 sesuai dengan SOP Nomor: SOP.01/T.8/BIDTEK/BIDTEK.1/KSA4/2019," kata Rudi, dilansir Antara, Rabu (19/3/2025).

Menurutnya, kebijakan ini diterapkan demi keselamatan pendaki dan menjaga kawasan sakral di sekitar taman nasional. Ia juga menepis tudingan bahwa pelarangan drone bertujuan untuk menutupi aktivitas ilegal di kawasan tersebut.

"BBTNBTS menggunakan drone dalam proses pencarian lokasi untuk mengidentifikasi lokasi tanaman ganja sehingga memudahkan pencarian dan mencari akses menuju lokasi tersebut," tegasnya.

Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni turut menegaskan bahwa temuan ladang ganja di TNBTS tidak ada kaitannya dengan larangan drone atau kebijakan penutupan taman nasional.

"Bahwa ladang ganja itu bukan hasil karya teman-teman Taman Nasional di sana. Tapi itu bekerja sama dengan kepolisian untuk menemukan ladangnya," ujar Raja Juli dalam pernyataan terkonfirmasi di Jakarta, Rabu (19/3/2025).

Raja Juli menambahkan bahwa temuan ladang ganja ini merupakan hasil pemetaan yang dilakukan oleh TNBTS bersama kepolisian dan Polisi Hutan menggunakan drone.

"Pakai drone segala macam, dan itu tidak terkait dengan penutupan Taman Nasional. Kan isunya, 'Oh, ditutup supaya ganjanya tidak ketahuan, justru dengan drone', dan teman-teman di Taman Nasional yang menemukan titiknya bersama Polhut, itu kita cabut dan menjadi barang bukti yang kita bawa ke polisi," ujarnya.

Sementara itu, Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kemenhut Satyawan Pudyatmoko mengatakan bahwa pihaknya telah menurunkan tim untuk mengecek lokasi ladang ganja tersebut.

"Karena ladang ganja itu biasanya ditanam di tempat-tempat yang relatif sulit untuk ditemukan, sehingga kita menurunkan petugas termasuk Kepala Balai Taman Nasional waktu itu, Polhut, Masyarakat Mitra Polhut, dan juga Manggala Agni yang ada di sana, semua turun ke lapangan dibantu dengan teknologi drone," jelas Satyawan.

Pihaknya juga memastikan bahwa patroli akan lebih diperketat di kawasan TNBTS agar kejadian serupa tidak terulang.

Dengan temuan ini, spekulasi tentang larangan drone sebagai ruang aman bagi ladang ganja tampaknya dapat ditepis. Justru, teknologi drone berperan besar dalam mengungkap praktik ilegal di kawasan konservasi.

Namun, pengawasan tetap perlu diperketat agar tidak ada celah bagi aktivitas yang merugikan lingkungan dan generasi mendatang.

Penulis :
Muhammad Rodhi