
Pantau.com - Bayi berumur tiga minggu yang dilahirkan Shamima Begum, remaja asal Inggris yang pernah bergabung dengan ISIS, meninggal di pengungsian akibat gangguan pernapasan.
Kejadian itu memicu kritik tajam terhadap Menteri Dalam Negeri Inggris, Sajid Javid. Ia disorot karena mencabut kewarganegaraan Begum sehingga remaja itu tak dapat kembali ke Inggris.
Di sisi lain, juru bicara pemerintahan Inggris menyatakan rasa duka dan menyebut kematian bayi laki-laki itu sebagai hal tragis. Informasi kematian bayi bernama Jarrah itu dikonfirmasi Pasukan Demokratis Suriah.
Dikutip BBC, seorang tenaga medis dari Bulan Sabit Merah Kurdi, menyebut Jarrah meninggal karena serangan pneumonia.
Baca juga: Meski Horor, Mimpi Meninggal Dunia Ternyata Punya Arti Baik
Bayi itu dilaporkan sempat dilarikan ke dokter, Kamis (7 Maret 2019), sebelum dibawa ke rumah sakit bersama Begum. Namun pada hari itu juga, Jarrah mengembuskan napas terakhir.
Begum sejak Februari lalu menjadi pemberitaan setelah dikenali sebagai warga Inggris di kamp pengungsian Suriah. Begum meninggalkan Inggris dan bergabung ke ISIS tahun 2015. Belakangan ia berupaya untuk pulang kampung, meski terhambat karena kewarganegaraannya dicabut.
Jarrah adalah anak ketiga Begum yang meninggal sejak ia menjadi bagian dari ISIS. Suaminya, seorang milisi ISIS asal Belanda bernama Yago Reidijk, kini ditahan pasukan Kurdi.
Terkait kematian bayi Begum ini, mantan pimpinan kepolisian kawasan Metropolitan London, Dal Babu, menyebut, sebagai sebuah negara, Inggris gagal melindungi anak-anak.
"Ini adalah kematian warga Inggris yang sebenarnya dapat dihindari," ujar Babu yang juga kerabat keluarga Begum di London.
Baca juga: El Savador Akhirnya Bebaskan 3 Wanita yang Dibui karena Aborsi
Bayi Tak berdosa
Menteri bayangan Inggris untuk urusan dalam negeri, Diane Abbot, juga mengkritik kebijakan pemerintah terhadap Begum
Melalui akun Twitter miliknya, Abbot berkata, "mencabut kewarganegaraan seseorang adalah sebuah pelanggaran HAM."
"Kini seorang anak tidak berdosa meninggal akibat pencabutan kewarganegaraan seorang perempuan Inggris."
"Ini kebijakan yang tidak berperasaan dan tidak manusiawi," kata Abbot.
Adapun, saat berbincang kepada BBC, Jumat (8 Maret 2019), Javid mengaku sedih dengan berita ini.
"Saya sangat bersimpati terhadap anak-anak yang terseret dalam situasi itu. Ini adalah sebuah pengingat, sangat berbahaya terlibat peperangan," ujar Javid.
Koresponden BBC untuk isu dalam negeri Inggris, Daniel Sandford, menyebut pemerintah sebenarnya dapat mengeluarkan bayi itu keluar dari Suriah, meski akan terhambat isu politik.
"Posisi pemerintah Inggris yang tidak mungkin memulangkan orang dari kamp atas dasar keamanan terus dipaparkan, meski ternyata tidak akurat," terangnya.
Baca juga: Viral! Tarian Salsa Maduro di Tengah Aksi Demonstrasi Warga Venezuela
Kristy McNeill, kepala urusan kebijakan, advokasi, dan kampanye di badan kemanusiaan Save the Children, menyebut semua anak yang terkait isu ISIS adalah korban konflik dan harus diperlakukan dalam kapasitas itu.
"Sangat mungkin kematian bayi laki-laki dan anak-anak lainnya bisa dihindari. Inggris dan negara lainnya harus bertanggung jawab pada warga negaranya yang berada di timur laut Suriah," ujar McNeill.
Dalam wawancara dengan BBC setelah kelahiran Jarrah, Begum menyatakan tidak menyesal telah pergi ke Suriah. Namun ia menekankan, ia tidak setuju dengan segala hal yang diperbuat ISIS. Begum berkata, ia seharusnya tidak pernah berharap menjadi perempuan yang merepresentasikan ISIS.
"Sungguh saya hanya ingin pengampunan dari Inggris," ujarnya kepada koresponden BBC di Timur Tengah, Quentin Sommerville, Februari lalu.
"Kehilangan anak-anak saya dengan cara seperti ini. Saya tidak ingin kehilangan mereka. Ini sungguh bukan tempat yang layak untuk membesarkan anak, kamp pengungsian ini," tutur Begum.
- Penulis :
- Nani Suherni