Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Jejak Kontroversial Perjalanan Politik Gubernur Kepri Nurdin Basirun

Oleh Noor Pratiwi
SHARE   :

Jejak Kontroversial Perjalanan Politik Gubernur Kepri Nurdin Basirun

Pantau.com - Karier politik Nurdin Basirun sejak menjabat Bupati Karimun hingga Gubernur Kepulauan Riau tidak selalu berjalan mulus, bahkan kontroversial.

Di awal masa jabatannya sebagai Bupati Karimun, Nurdin dihadapkan dengan persoalan ijazah. Nurdin tidak pernah menginjak bangku SMA, tetapi sejumlah sertifikat pelautnya disetarakan Kementerian Pendidikan dengan ijazah SMA.

Bermodal surat sakti dari Kementerian Pendidikan itu, Nurdin melenggang menjabat sebagai Bupati Karimun selama 2 periode hingga akhirnya disunting Muhamad Sani sebagai Calon Wakil Gubernur Kepri pada Pilkada Kepri 2015.

Saat Pilkada Kepri 2015, kasus ijazah Nurdin pun diusut pihak kepolisian. Namun, hingga sekarang belum diketahui hasilnya apakah surat sakti Kementerian Pendidikan itu mujarab atau tidak. 

Sebagian orang yang mengenalnya, menganggap Nurdin orang yang beruntung berpasangan dengan Sani, calon petahana kala itu. Meski Sani sempat meragukan ijazah Nurdin, lagi-lagi Nurdin beruntung, berhasil memenangkan Pilkada Kepri, 9 Desember 2015.

Nurdin pun tidak perlu bekerja keras untuk mendapatkan kursi Kepri 1. Pada tanggal 11 Februari 2016, H.M. Sani-Nurdin Basirun dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Kepri periode 2016 s.d. 2021. Tepat 8 April 2016 H.M. Sani meninggal dunia pada usia 73 tahun.

Tampuk kekuasaan Nurdin

"Saya mohon dukungan masyarakat, bersama kita bangun Kepri. Saya ikhlaskan diri saya bekerja keras untuk kemajuan Kepri," ucapnya seusai dilantik sebagai Gubernur Kepri.

Nurdin tidak dapat melenggang sempurna dalam beraktivitas di pemerintahan karena dihadapkan dengan kubu yang berbeda haluan dengannya. Bahkan, kondisi politik di DPRD Provinsi Kepri tidak menguntungkan dirinya jika diukur dari kekuatan politik partai yang mendapatkan kursi di legislatif hasil Pemilu 2014.

Lebih dari separuh anggota legislatif berasal dari partai pengusung Soerya Respationo-Ansar Ahmad, rival politiknya pada Pilkada Kepri 2015. Selama Nurdin berkuasa di Pemprov Kepri, berbagai pihak menilai gaya kepemimpinannya tidak sama dengan Sani. Nurdin agaknya sulit mengendalikan pemerintahan dan dinamika politik.

Baca juga: KPK Tahan Gubernur Kepri Nurdin Basirun Terkait Kasus Reklamasi

Satu per satu masalah politik menyeruak, dimulai dari upaya menggeser Reni Yusnelli, Asisten I Pemprov Kepri yang sejak 10 Februari 2016 menjabat sebagai Pelaksana Tugas Sekda Kepri.

Kedekatan Reni dengan Soerya, salah satu pertimbangan Nurdin untuk menggesernya. Nurdin menginginkan T.S. Arif Fadillah, mantan anak buahnya di Karimun sebagai Sekda Kepri. Arif pun berhasil menjabat sebagai Sekda Kepri pada tanggal 10 Oktober 2016.

Karier Arif pun tidak selalu berjalan mulus. Di awal masa jabatannya sebagai Sekda Kepri, Arif menghadapi laporan salah satu LSM terkait dengan kasus dugaan korupsi insentif guru TPQ. Kasus itu dapat diselesaikannya.

Tercium KPK

Gubernur Kepulauan Riau Nurdin Basirun (tengah) berjalan menuju ruang pemeriksaan saat tiba di gedung KPK, Jakarta, Kamis (11/7/2019).(Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay)

KPK lantas mencium praktik gratifikasi yang dilakukan Arif, yakni menerima uang maupun bantuan lainnya dari sejumlah pejabat di Pemprov Kepri ketika menikahi anaknya. Kasus itu pun menghilang, dan Nurdin tetap aman.

Setelah memiliki sekda, Nurdin Basirun yang dilantik sebagai Gubernur Kepri pada tanggal 25 Mei 2016 memiliki pekerjaan lainnya yang cukup berat dalam menetapkan dua figur menjadi calon wakil gubernur.

Ketua Partai NasDem itu dinilai sejumlah anggota DPRD Provinsi Kepri kerap bermanuver, terutama saat menetapkan dua figur sebagai calon Wagub Kepri. Meski dalam berbagai kesempatan dia menegaskan ingin memiliki wagub secepatnya.

"Saya ingin cepat, tetapi saya tidak memiliki kewenangan karena masih ada partai lain yang juga pengusung Sani-Nurdin," kata Nurdin berdalih.

Pernyataan Nurdin itu bertolak belakang dengan pengurus Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Gerindra, sebagai pengusung Sani-Nurdin. Mereka justru menunggu sinyal dari Nurdin untuk menentukan siapa figur yang diinginkan.

"Kami dibuat seolah-olah yang memiliki kepentingan dalam pemilihan wagub ini. Padahal, gubernur yang lebih banyak kepentingan karena figur itu akan mendampinginya," kata Ketua Partai Persatuan Pembangunan Kepri Syarafudin Aluan.

Satu per satu partai pengusung akhirnya mengambil inisiatif untuk membuka pendaftaran calon wakil gubernur. Hingga Desember 2016, dari nama-nama yang diusulkan akhirnya mengerucut menjadi lima orang, yakni Isdianto, Agus Wibowo, Mustafa Widjaja, Rini Fitrianti, dan Fauzi Bahar. Isdianto yang kini menjabat sebagai Wakil Gubernur Kepri, adik kandung dari M. Sani (mantan Gubernur Kepri).

Isdianto bukan orang yang diinginkan Gubernur Kepri. Manuver politik untuk menggagalkan Isdianto sebagai pendampingnya pun terdengar banyak pihak, termasuk PDIP. Namun, pelantikan Isdianto tetap dilaksanakan. Isdianto yang didorong Partai Demokrat untuk menjabat sebagai Wagub Kepri pun akhirnya menjadi pengurus PDIP.

Belum selesai permasalahan pemilihan Wagub Kepri, Gubernur dihadapi dua situasi yang lebih rumit, yakni mutasi pejabat eselon II s.d. IV dan penggunaan hak interpelasi. Pelantikan mendadak kepada pejabat eselon II sampai dengan III pada tanggal 7 November 2016 menyisakan permasalahan sampai saat ini. Setelah mutasi pejabat eselon II-IV, selama beberapa hari Nurdin dihajar dengan isu karimunisasi dan provinsi karimun, karena banyak pejabat asal Karimun yang menjadi pejabat di Pemprov Kepri.

Banyak pejabat asal Karimun yang diboyong ke Pemprov Kepri. Sejumlah anggota DPRD Provinsi Kepri menilai proses mutasi tidak lazim karena ada beberapa pejabat yang dilantik tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. "Mutasi pejabat eselon II sampai dengan IV tidak dilaksanakan sesuai dengan prosedur," kata Tana Iskandar, salah seorang inisiator hak interpelasi.

Anggota Komisi I DPRD Provinsi Kepri itu menilai setidaknya Gubernur Nurdin tidak mengikuti sembilan aturan perundangan yang ada, di antaranya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai.

Berdasarkan hasil investigasi inisiator hak interpelasi, diperoleh banyak data mutasi pejabat eselon II-IV yang melanggar ketentuan yang berlaku. Salah satu contoh, Sekretaris Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Kepri Hasbi merangkap sebagai Plt. Asisten III Pemprov Kepri.

Nurdin Basirun menegaskan bahwa pelaksanaan mutasi secara profesional dan sesuai ketentuan yang berlaku. Jika terjadi kesalahan, dia bersedia untuk memperbaikinya. Lagi-lagi Nurdin berhasil terlepas dari permasalahan itu.

Program Suling

Dalam setahun terakhir, kekuatan politik Nurdin di tengah masyarakat makin membaik. Salah satu program andalannya adalah Subuh Keliling atau Suling. Program ini mendapat sambutan positif dari berbagai kalangan, terutama para ulama. Setiap subuh, Nurdin mengajak seluruh stafnya, terutama kepala dinas yang beragama Islam.

Ia kerap menikmati udara pagi bersama sejumlah kepala dinas di kedai kopi, dan berfoto di pelataran pelantar dekat pembangunan Jalan Lingkar Gurindam 12 Tanjungpinang.

Baca juga: Gubernur Kepri Kena OTT KPK, Wagub Jadi Pelaksana Tugas

Bahkan, belum lama ini, Pemprov Kepri membuat kebijakan kontroversial terkait finger print Suling. Sejumlah pejabat eselon dua menolaknya karena menganggap salat Subuh merupakan urusan dirinya dengan Allah, berbeda dengan urusan kedisplinan dalam bekerja.

Keputusan pejabat eselon dua wajib finger print di masjid itu akhirnya dicabut setelah menuai kritikan. Terlepas dari permasalahan itu, Nurdin tetap menjalankan program Suling. Barang-barang yang diberikan kepada masyarakat, ada gambar tempel berisi foto dirinya dan tulisan suling.

Program itu berhasil menutupi kelemahannya, dan sejumlah permasalahan yang dihadapinya. Permasalahan yang dihadapi, seperti perekonomian Kepri yang hanya tumbuh 2,02 persen pada tahun 2017, istrinya yang masih berwarga negara Singapura, dan isu perselingkuhan dirinya dengan oknum ASN.

Ditangkap KPK


Gubernur Kepulauan Riau Nurdin Basirun (tengah) mengenakan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (12/7/2019). (Foto: Antara/Reno Esnir)

Bak petir menyambar Kepri menjelang magrib ketika suara ponsel berulang kali berbunyi dari berbagai pihak yang ingin memastikan apakah informasi Nurdin ditangkap KPK itu benar atau tidak.

Pria kelahiran Moro, Karimun itu ditangkap KPK di Tanjungpinang pada tanggal 10 Juli 2019 atau 3 hari setelah merayakan ulang tahunnya yang ke-62.

Nurdin ditangkap KPK setelah enam orang lainnya diperiksa KPK terkait dengan kasus gratifikasi dalam proyek reklamasi pantai di Tanjung Piayu Batam. Padahal, Tanjung Piayu merupakan area yang diperuntukkan sebagai kawasan budi daya dan hutan lindung. Lokasi ini rencananya untuk pembangunan resor dan kawasan wisata seluas 10,2 hektare.

Tadi malam, KPK telah menetapkan empat dari tujuh orang yang diamankan sebagai tersangka.

Mereka adalah Nurdin Basirun, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kepri Edy Sofyan, Kabid Perikanan Tangkap DKP Kepri Budi Hartono dan pengusaha bernama Abu Bakar. KPK menduga Nurdin menerima suap secara bertahap dari Abu Bakar dengan total nilai SGD11.000 dan Rp45 juta.

Dari situs acch.kpk.go.id, Nurdin melaporkan harta kekayaannya pada 29 Mei 2018 untuk periode kekayaan 2017. Harta kekayaan yang dilaporkan Nurdin sekitar Rp5,8 miliar. Ia juga memiliki harta berupa tanah dan bangunan senilai Rp4,4 miliar, Honda CR-V JEEP 2005 senilai Rp180 juta, Toyota New Camry 2011 Rp80 juta, dan Honda CR-V 2012 Rp 110 juta.

"Kasus ini masih dalam pengembangan," kata Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan.

Penulis :
Noor Pratiwi