
Pantau.com - Rupiah kembali mengalami tekanan. Dari data Jakarta Interbank Spot Dolar Rate (JISDOR) yang diakses Kamis, (4/10/2018) kurs rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat telah mencapai Rp15.133 per Dolar AS.
Kendati demikian Bank Indonesia meminta jangan melihat kondisi berdasarkan levelnya. Deputi Gubernur Bank Indonesia, Mirza Adityaswara mengatakan kondisi ini masih aman sebab suplai dan demand masih berjalan.
"Jangan lihat level. Aman, yang penting suplai dan demand-nya jalan dan banking sector juga kuat. CAR (Capital Adequacy Ratio/Rasio kecukupan modal) juga di atas 20 persen," ujarnya saat ditemui usai diskusi di Gedung Bank Indonesia, Jakarta Pusat, Kamis (4/10/2018).
Lebih lanjut kata dia, ketahanan sektor perbankan bagus. Rasio kecukupan modal dengan standar keuangan yang diukur oleh standar internasional juga semua bank kategori buku 1-4 diatas 20 persen. Dengan rasio minimumnya sebesar 8,5 persen.
Baca juga: Tahun Politik, Menkeu Ingatkan Utang Negara Jadi Konsen Petahana dan Pesaingnya
"Jadi strong, berapa sih minimumnya, minimumnya 8,5 kalau pakai risiko minimum sekitar 14 persen, sekarang di atas 20 persen jadi masih kuat. likuiditas gimana? BI selalu memperhatikan likuiditas," ungkapnya.
Selain itu BI juga kata dia telah melakukan kenaikkan suku bunga acuan kendati demikian kenaikkan tersebut tidak langsung direspon jadi masih terkendali.
"BI memang menaikkan bunga tapi bunga yang kami lihat di pasar time deposit kalau BI sudah naikin 150 bps bunga di pasar time deposit itu kenaikannya belum sampai 50 bps, jadi masih terkendali," katanya.
"BI selalu siap membuka keran likuiditas namanya term repo, pernah kami buka di Mei, Juni jadi BI pasti akan masuk ke pasar untuk tambah likuiditas jika memang likuiditas rupiah mengetat," ungkapnya.
Baca juga: Kurs Rupiah Sentuh Rp15.100 per Dolar AS, Sri Mulyani Akui Imbas ke APBN
Kendati demikian kata Mirza, saat ini likuiditas dianggap masih cukup. Sehingga kata dia jangan melihat kurs dari angka nominalnya namun lihat dari aspek lainnya.
"Jadi, kalau kurs jangan lihat angka Rp 15 ribu-nya, tapi lihat bagaimana volatility-nya, bagaimana lihat suplai demand-nya," kata dia.
Lebih lanjut kata Mirza, volatilitas yang tejadi sudah sejak 2013 dan bukan hanya terjadi di Indonesia. "Kita ini sudah mengalami volatility ini sejak 2013, dari Rp10.000 ke Rp11.000, ke Rp12.000 ke Rp13.000 ," katanya.
"Tapi bukan cuma Indonesia, India juga mengalami seperti itu. Filipina, Meksiko, Brasil, Afsel, bahkan negara maju yg suku bunganya lebih rendah dari AS juga mengalami pelemahan kurs. Australia juga mengalami pelemahan kurs. Jadi, yang penting suplai demandnya berjalan dengan baik, inflasi juga terjaga dengan baik, jadi jangan terpaku pada level," pungkasnya.
- Penulis :
- Nani Suherni