
Pantau - Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Sudaryono menegaskan bahwa swasembada pangan bukan hanya ambisi politik, melainkan langkah strategis untuk mencapai kedaulatan bangsa dalam menghadapi dinamika global.
Kritik terhadap Ketergantungan Impor dan Pentingnya Kedaulatan
Sudaryono menyatakan bahwa anggapan yang menyamakan impor pangan dengan ekspor komoditas lain seperti kelapa sawit adalah pandangan yang membahayakan.
"Ini opini yang menurut saya sangat berbahaya. Kenapa mesti swasembada? Karena hanya dengan memenuhi kebutuhan pangan dari produksi kita sendiri, kita bisa bicara tentang ketahanan, dan dari sana bisa menuju kedaulatan pangan," ungkapnya.
Ia menekankan bahwa kedaulatan pangan bukan sekadar retorika, melainkan kebutuhan strategis agar Indonesia tidak mudah diintervensi oleh kekuatan asing.
"Kedaulatan artinya negara kita tidak mudah diintervensi oleh kekuatan lain—baik negara, NGO, maupun kepentingan asing. Dan kedaulatan itu dimulai dari perut rakyat yang terisi oleh hasil tani bangsa sendiri," ia mengungkapkan.
Menurutnya, pandemi COVID-19 telah memberikan pelajaran bahwa uang tidak selalu menjamin ketersediaan pangan saat krisis melanda.
"Ini jadi pengingat bahwa uang tidak selalu bisa membeli pangan di saat sulit. Maka, jangan sampai kebutuhan pokok seperti beras dan jagung menjadi titik lemah kita di hadapan dunia," ujarnya.
Kebijakan Strategis dan Capaian Pemerintah di Bawah Presiden Prabowo
Wamentan menyoroti upaya pemerintah untuk mengatasi anjloknya harga saat panen raya dengan kehadiran negara dalam menyerap gabah petani.
"Presiden sudah menetapkan HPP gabah kering panen di sawah sebesar Rp6.500 per kilogram. Dan jika pasar tidak mampu menyerap, maka negara hadir melalui Bulog yang ditugaskan membeli langsung dari pematang sawah," jelasnya.
Ia menyebut kebijakan ini sebagai lompatan besar karena Bulog kini langsung menyerap gabah dari sawah, bukan hanya dari gudang.
"Bulog bukan lagi ketemu beras, tapi ketemu sawah. Ini langkah yang sangat strategis untuk menjaga nilai jual petani," katanya.
Hingga pertengahan Juni 2025, Bulog telah menyerap lebih dari 2,5 juta ton gabah yang setelah diolah menjadi beras, mengisi gudang negara.
Jika ditambah stok beras tahun 2024, total stok beras nasional yang dikelola Bulog mencapai lebih dari 4 juta ton, tertinggi sepanjang sejarah Republik Indonesia.
Ia menjelaskan bahwa Bulog hanya menyerap sekitar 10 persen dari total panen nasional, atau sekitar 25 juta ton, dan hanya di daerah-daerah yang tidak dapat dijangkau pasar.
"Kadang-kadang orang mikirnya bahwa semua panenan itu dibeli Bulog, bukan. Bulog hanya membeli kira-kira 10 persen di daerah-daerah yang sulit, di daerah-daerah yang di mana pasar tidak bisa membeli. Pedagang beras tidak bisa beli, di situ Bulog hadir," tegasnya.
Pemerintah menargetkan penghentian impor untuk beras, jagung, gula konsumsi, dan garam konsumsi, dengan tiga di antaranya menjadi tanggung jawab Kementerian Pertanian.
Dukungan Infrastruktur dan Produksi Nasional
Selama masa kepemimpinannya, Wamentan mengungkapkan bahwa keluhan petani berkutat pada kebutuhan benih unggul, air dan irigasi, pupuk subsidi, serta jaminan harga.
"Petani butuh benih yang baik, dan sekarang kami sudah bekerja sama dengan kampus-kampus besar seperti IPB untuk memproduksi benih unggul," ujarnya.
Pemerintah telah menggelontorkan Rp12 triliun untuk memperbaiki 83 ribu titik irigasi dan menyiapkan tambahan Rp10 triliun jika dibutuhkan.
"Air ini kunci. Tanpa air, percuma kita bicara tentang pangan," ia menegaskan.
Untuk pupuk, pemerintah memangkas 145 regulasi agar distribusi pupuk subsidi berjalan lebih efisien.
Alokasi pupuk subsidi tahun 2025 mencapai 9,5 juta ton, meningkat lebih dari dua kali lipat dari tahun 2023 yang hanya 4,7 juta ton.
"Kalau dulu petani yang cari pupuk, sekarang pupuk yang cari petani," tuturnya.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan peningkatan signifikan dalam produksi pangan nasional.
Produksi padi dan beras naik 54 persen pada kuartal pertama 2025 dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, sementara produksi jagung meningkat 39 persen.
"Ini bukan kerja satu malam. Tapi kalau kita terus konsisten, bukan mustahil kita akan melihat Indonesia benar-benar berdiri tegak sebagai negara yang berdaulat secara pangan," tutupnya.
- Penulis :
- Arian Mesa