
Pantau - Harga beras yang terus bertahan tinggi menjadi tantangan berkelanjutan bagi pemerintah, meskipun berbagai kebijakan telah dilakukan seperti operasi pasar dan penyaluran beras stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) ke berbagai daerah.
Upaya tersebut belum sepenuhnya memenuhi harapan masyarakat, yang masih dihadapkan pada harga beras yang mahal di pasaran.
Pemerintah kini berupaya menjaga keseimbangan antara ketersediaan stok, perlindungan konsumen, dan keberlanjutan produksi pertanian dalam negeri.
Petani Bergembira dengan Panen Raya, Tapi Harga Beras Tak Juga Turun
Panen raya yang baru berlangsung di berbagai daerah membawa kebahagiaan bagi para petani.
Pemerintah menetapkan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen (GKP) sebesar Rp6.500 per kilogram, tanpa mempertimbangkan kadar air dan kadar hampa.
Kebijakan ini memberi jaminan pasar bagi petani karena hasil panen mereka tetap akan ditampung, apapun kualitasnya.
Dengan adanya HPP, petani mendapatkan kepastian pendapatan dari hasil kerja keras mereka.
Namun demikian, kebijakan ini belum berhasil menahan kenaikan harga beras yang masih tinggi di pasaran.
Ketimpangan Rantai Nilai: Petani Gabah Rugi, Tengkulak Untung
Beras merupakan komoditas strategis dengan dimensi ekonomi, politik, dan sosial yang luas.
Pemerintah tidak dapat berspekulasi terhadap ketersediaan dan harga beras, karena sedikit gejolak saja dapat berdampak besar terhadap stabilitas sosial dan ketahanan pangan nasional.
Di tengah tingginya harga beras, pertanyaan mendasar muncul: siapa sebenarnya yang paling diuntungkan?
Apakah petani sebagai produsen utama yang mendapat keuntungan terbesar, atau justru para pemilik penggilingan, bandar, dan tengkulak yang mendominasi rantai distribusi?
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa petani, meskipun bekerja keras menghasilkan gabah, jarang menikmati hasil yang setimpal.
Sebagian besar petani hanya menjual hasil panennya dalam bentuk gabah, bukan beras.
Sementara gabah adalah milik petani, beras dikuasai oleh para pedagang dan pengusaha penggilingan padi.
Petani tidak memiliki teknologi maupun modal untuk mengolah gabah menjadi beras siap jual yang bernilai lebih tinggi.
Akibatnya, rantai nilai dalam agribisnis perberasan menjadi timpang, dengan nilai tambah ekonomi terbesar berada di tahap pengolahan dan distribusi, bukan di tangan petani.
Data menunjukkan bahwa harga beras di pasaran bisa dua kali lipat lebih tinggi dari harga gabah.
Berdasarkan kesepakatan antara Badan Pangan Nasional dan pengusaha penggilingan padi, harga gabah kering panen di tingkat petani dipatok Rp4.550 per kilogram, sementara harga beras medium di gudang Bulog mencapai Rp9.000 per kilogram.
Selisih harga ini menunjukkan potensi pendapatan besar yang tidak dinikmati oleh petani karena mereka tidak menguasai rantai nilai perberasan.
Dorongan untuk Lahirnya Petani Beras
Untuk mengatasi ketimpangan ini, diperlukan kebijakan yang mendorong transformasi dari "petani gabah" menjadi "petani beras".
Artinya, petani harus didorong untuk menguasai proses pasca panen, mulai dari pengolahan hingga distribusi.
Dengan demikian, petani bisa menikmati nilai tambah dari produk yang mereka hasilkan, bukan hanya menjual hasil mentah kepada tengkulak.
- Penulis :
- Aditya Yohan
- Editor :
- Tria Dianti