
Pantau - Arif Budimanta dikenang sebagai salah satu ekonom Indonesia yang teguh membela sistem ekonomi konstitusional berbasis Pancasila, sebuah prinsip yang ia perjuangkan hingga akhir hayatnya.
Ia menolak arus utama kapitalisme yang cenderung menguntungkan elite politik dan ekonomi, dan justru konsisten memperjuangkan ekonomi kerakyatan yang berpihak kepada masyarakat kecil.
Keberanian Arif disertai dengan kemampuan analisis ekonomi yang tajam, yang menjadikannya sebagai sosok pemikir sekaligus praktisi yang berpihak kepada rakyat.
Komitmen terhadap Ekonomi Konstitusi
Pandangan Arif Budimanta tidak hanya dikenal dari jabatannya, tetapi juga dari gagasan-gagasan yang ia sampaikan dalam berbagai forum dan tulisan.
Ia memandang bahwa ekonomi bukan sekadar angka dan grafik, tetapi tentang kehidupan petani, nelayan, perajin, hingga pedagang kecil yang menjadi tulang punggung bangsa.
Arif beberapa kali terlibat dalam diskusi tentang sistem ekonomi nasional bersama Lembaga Pengkajian MPR RI, termasuk Simposium Sistem Perekonomian Nasional yang menghadirkan tokoh-tokoh seperti Darmin Nasution, Emil Salim, Sri Adiningsih, Sri Edi Swasono, Chairul Tanjung, dan Tanri Abeng.
Dalam forum tersebut, Arif menekankan pentingnya keberpihakan negara kepada ekonomi rakyat dan perlunya pembangunan yang selaras dengan konstitusi.
Sebagai ekonom strukturalis, ia meyakini bahwa kebijakan ekonomi seharusnya menyasar kelompok yang termarjinalkan, bukan hanya bertumpu pada indikator makroekonomi.
"Data hanyalah pintu masuk untuk memahami realitas sosial-ekonomi, yang selanjutnya harus diarahkan untuk solusi nyata bagi kelompok terdampak," ungkapnya dalam berbagai kesempatan.
Pendekatannya selalu menyeluruh, memadukan data, kebijakan, dan dimensi kemanusiaan sebagai dasar dalam merumuskan arah pembangunan.
Jejak Pengabdian dan Warisan Pemikiran
Saat menjabat sebagai Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi, Arif mengangkat isu perberasan nasional dan menyuarakan keberpihakan kepada penggilingan padi kecil yang tersisih akibat dominasi korporasi besar.
Ia menyatakan bahwa kebijakan pangan nasional tidak boleh hanya menguntungkan segelintir korporasi, tetapi harus memberikan ruang bagi usaha kecil sebagai pilar ketahanan pangan.
Komitmennya tersebut mencerminkan praktik nyata dari prinsip ekonomi Pancasila yang menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas utama.
Pada akhir 2024, dalam diskusi ekonomi Pancasila di Yogyakarta yang digagas Prof. Didik Rachbini, Arif tampil sebagai moderator dan menunjukkan kemampuannya menjaga substansi diskusi tetap fokus dan seimbang.
Di sela forum tersebut, ia menyampaikan keinginan untuk "kembali ke habitat lah" setelah tidak lagi menjabat sebagai staf khusus presiden, merujuk pada aktivitas pengabdian berbasis masyarakat.
Ia juga mengungkapkan bahwa dirinya baru saja dipercaya sebagai Ketua PP Muhammadiyah bidang ekonomi, posisi yang diharapkannya dapat menjadi wadah penguatan koperasi pangan dan ekonomi kerakyatan.
Sayangnya, rencana-rencana tersebut belum sempat ia wujudkan sebelum tutup usia.
Kini, Arif Budimanta telah wafat, meninggalkan duka mendalam bagi keluarga, kolega, dan bangsa Indonesia.
Ia dikenang bukan hanya sebagai akademisi atau pejabat, tetapi sebagai pejuang konstitusi yang memperjuangkan keadilan sosial melalui ekonomi berkeadilan.
Warisan pemikirannya menjadi panduan penting dalam menghadapi tantangan ketimpangan, eksploitasi sumber daya, dan perlindungan terhadap kelompok rentan.
Ekonomi Pancasila yang ia perjuangkan mengedepankan keseimbangan antara efisiensi pasar dan pemerataan, antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan sosial, serta antara kepentingan individu dan kolektif.
Gagasannya bukan sekadar wacana, tetapi pijakan praktis dalam perumusan kebijakan publik yang inklusif dan berkeadilan.
Bangsa ini membutuhkan lebih banyak pemikir seperti Arif Budimanta—yang tak hanya memahami teori, tapi juga mendengar dan merasakan denyut nadi rakyat.
Di tengah tantangan globalisasi, digitalisasi, dan krisis iklim, keteguhan Arif pada nilai-nilai konstitusi menjadi pengingat bahwa ekonomi berkeadilan bukanlah utopia, melainkan cita-cita yang dapat dicapai lewat komitmen nyata.
"Selamat jalan, Mas Arif. Pemikiran dan dedikasimu akan terus hidup dalam perjuangan mewujudkan Indonesia yang lebih adil dan sejahtera."
"Apa yang telah engkau tanamkan tentang makna ekonomi Pancasila akan selalu menjadi pijakan untuk membangun masa depan bangsa ini."
- Penulis :
- Ahmad Yusuf