
Pantau - Ratusan penumpang tampak memadati dermaga kecil Banda Neira, Maluku Tengah, menjelang keberangkatan kapal Pelni menuju Ambon. Di pulau yang hanya bisa dijangkau melalui jalur laut dan udara dengan akses sangat terbatas ini, kedatangan dan keberangkatan kapal menjadi momen besar yang menentukan denyut kehidupan warga.
Setiap kali kapal bersandar, bukan sekadar aktivitas rutin, tapi menjadi simbol harapan akan logistik yang tiba, mobilitas yang tersambung, dan akses terhadap layanan dasar yang terbuka.
"Begitulah Banda Neira. Di antara laut yang biru dan langit yang luas, setiap keberangkatan kapal, bukan hanya rutinitas, tapi denyut kehidupan yang menjaga pulau ini tetap bernapas," ungkap salah seorang warga.
Dari Pusat Rempah Dunia ke Simbol Ketabahan Kepulauan
Banda Neira, pulau kecil di gugusan Laut Banda, pernah menjadi pusat rempah-rempah dunia—terutama pala—dan diperebutkan bangsa-bangsa Eropa karena kekayaan alamnya.
Kini, Banda bukan lagi arena perebutan kolonial, melainkan simbol ketabahan masyarakat kepulauan yang menggantungkan hidupnya pada laut dan jadwal kapal yang tak menentu.
Kehidupan di Banda Neira sangat kontras dengan Jakarta yang memiliki berbagai moda transportasi modern. Di sini, masyarakat hidup mengikuti ritme laut, menyesuaikan perjalanan mereka dengan jadwal kapal Pelni yang bisa datang setiap tiga hingga empat hari sekali.
Kapal Pelni—khususnya KM Sangiang—menjadi satu-satunya alat transportasi utama dari dan ke Banda Neira, dengan waktu tempuh 14 jam menuju Ambon.
Penumpang harus berdamai dengan ombak besar, jarak jauh, dan keterbatasan pilihan.
Pelabuhan sebagai Nadi Kehidupan Banda Neira
Setiap kali KM Sangiang tiba, pelabuhan Banda Neira berubah menjadi titik krusial aktivitas. Bangunan tua berwarna biru yang menghadap laut menjadi saksi lalu lalang barang dan manusia.
Warga membawa karung, koper, dan berbagai barang kebutuhan pokok. Beberapa membantu menaikkan penumpang sakit yang akan dirujuk ke Ambon untuk mendapatkan layanan kesehatan.
Pelabuhan ini bukan hanya tempat keberangkatan dan kedatangan, tetapi juga simpul vital dalam rantai distribusi logistik, ekonomi, serta akses pendidikan dan kesehatan.
Di tengah tantangan infrastruktur dan aksesibilitas yang minim, transportasi laut menjadi jembatan utama yang menjaga Banda Neira tetap terhubung dengan dunia luar.
Artikel ini menyoroti bahwa di wilayah terluar seperti Banda Neira, transportasi laut bukan hanya soal mobilitas, tapi juga soal ketahanan hidup masyarakat.
- Penulis :
- Aditya Yohan









