Pantau Flash
HOME  ⁄  Ekonomi

Produksi Garam Cirebon Tersendat Akibat Kemarau Basah, Inovasi Produk Turunan Jadi Penyelamat

Oleh Gerry Eka
SHARE   :

Produksi Garam Cirebon Tersendat Akibat Kemarau Basah, Inovasi Produk Turunan Jadi Penyelamat
Foto: (Sumber: Warga menunjukkan garam berbentuk prisma di Cirebon, Jawa Barat, Minggu (9/11/2025) siang. ANTARA/Fathnur Rohman.)

Pantau - Produksi garam di Kabupaten Cirebon terganggu akibat fenomena kemarau basah yang disertai curah hujan tinggi, menyebabkan proses kristalisasi garam terhenti dan banyak lahan tambak terbengkalai.

Produksi Garam Anjlok, Petambak Terlilit Kerugian

Cuaca yang tidak menentu membuat petambak di wilayah Astanajapura dan Pangenan kesulitan memanen garam secara maksimal.

"Musim ini bisa dibilang musim kemarau basah yang setiap bulannya itu selalu turun hujan. Sehingga produksi garam itu tidak bisa maksimal," ungkap salah satu petambak.

Dalam kondisi normal, satu hektare tambak dapat menghasilkan hingga 150 ton garam, namun saat cuaca tidak mendukung, hasil panen hanya mencapai separuhnya.

Banyak petambak masih menggunakan plastik mulsa murah sebagai alas tambak, bukan geomembran yang lebih tahan lama dan efisien, sehingga hasil produksi tidak optimal.

Harga garam saat ini berkisar Rp2.000 per kilogram, namun petambak tidak dapat menikmati keuntungan karena ketiadaan stok akibat gagal panen.

Sistem distribusi masih dikuasai tengkulak, sementara garam belum memiliki harga eceran tertinggi (HET) sehingga petambak tidak dapat menjual langsung ke luar daerah.

"Perlu ada BUMD yang bisa membeli garam langsung dari petambak, memberi harga lebih adil, dan mengurangi ketergantungan pada tengkulak," ia mengungkapkan.

Inovasi Produk Turunan Garam Dorong Kemandirian

Sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah daerah telah mendorong pengembangan garam rakyat melalui pelatihan produk turunan.

Septi Ariyani, mantan pegawai dinas, mengembangkan produk spa berbasis garam setelah mengikuti program pemberdayaan istri petambak.

Ia memulai usaha secara mandiri dengan menyewa 25 hektare tambak di Kartasura, meski menghadapi tantangan sosial dan teknis.

"Pernah saat panen tiba, jalan satu-satunya ke tambak ditutup oleh pihak tak bertanggung jawab," ungkapnya.

Pada 2019, ia mendapatkan izin edar dari BPOM dan mendirikan badan usaha berbentuk CV setelah memperoleh IUMK.

Kini, usahanya memproduksi 25 jenis produk turunan garam, dengan 95 persen bahan baku digunakan untuk industri pangan, perikanan, penyamakan kulit, dan pengeboran minyak.

Produk garamnya dipasarkan hingga Jakarta, Bandung, Kalimantan, Lampung, Aceh, dan Papua.

Omzet bisnisnya sempat mencapai Rp100 juta per bulan, dan tetap bertahan di kisaran Rp30 hingga Rp50 juta saat permintaan menurun.

Ia menghabiskan sekitar Rp600 juta selama 2020–2023 untuk menopang produksi di tengah kemarau basah, dan kini mengandalkan produksi skala rumah dengan lima pekerja tetap dan beberapa tenaga lepas.

Septi juga aktif sebagai narasumber dalam pelatihan-pelatihan, namun menilai pendampingan pascapelatihan masih minim.

"Harga sekarang Rp2.000 per kg. Sebenarnya di angka Rp1.000 juga sudah menguntungkan bagi petani," ujarnya.

Ia mendukung pembatasan impor garam yang dinilai dapat melindungi pasar lokal dan mendorong penguatan produk dalam negeri.

"Kalau punya rumah garam, semua produk bisa memakai label daerah. Orang Cirebon makan garam dari Cirebon sendiri," tegasnya.

Cirebon Menuju Kemandirian Garam Rakyat

Kabupaten Cirebon memiliki potensi lahan garam seluas 2.666 hektare, tersebar di sepanjang 79,7 kilometer garis pantai dan 36 desa pesisir.

Produksi garam di wilayah ini telah berlangsung sejak era kesultanan dan masa kolonial, sebagaimana tercatat dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari serta arsip surat kabar De Locomotief tahun 1937–1938.

Pemerintah Kabupaten Cirebon menjadikan garam sebagai komoditas strategis, dengan memperkuat koperasi garam rakyat melalui pembangunan sentra produksi, perbaikan akses, penyediaan sarana, dan pelatihan teknis maupun kelembagaan.

Produksi garam di Cirebon sempat meningkat dari 5.368,56 ton pada 2021 menjadi 116.490,25 ton di 2023, namun kembali turun menjadi 34.832,9 ton pada 2024 akibat cuaca buruk.

Kabupaten Cirebon terus berupaya menuju kemandirian garam rakyat yang modern dan berdaya saing di tengah tantangan iklim dan pasar yang kompleks.

Penulis :
Gerry Eka