Pantau Flash
HOME  ⁄  Ekonomi

Bank Indonesia Longgarkan Kebijakan Moneter, Tantangan Berikutnya: Alirkan Likuiditas ke Sektor Riil

Oleh Gerry Eka
SHARE   :

Bank Indonesia Longgarkan Kebijakan Moneter, Tantangan Berikutnya: Alirkan Likuiditas ke Sektor Riil
Foto: (Sumber: Petugas menunjukkan uang rupiah di Kantor Cabang BNI Pasar Baru, Jakarta, Senin (27/10/2025). Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan BI-Rate sebesar 4,75 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 3,75 persen dan suku bunga Lending Facility sebesar 5,50 persen. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/nym.)

Pantau - Sepanjang 2025, Bank Indonesia (BI) melonggarkan kebijakan moneternya secara agresif demi mendorong pertumbuhan ekonomi, namun hingga akhir tahun, aliran likuiditas ke sektor riil masih belum optimal.

BI menurunkan suku bunga acuan (BI-Rate) sebanyak lima kali sepanjang tahun, total 125 basis poin, hingga mencapai level 4,75 persen—terendah sejak 2022.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengibaratkan BI sebagai sumber mata air yang mengaliri sawah, dengan sektor keuangan sebagai sawah pertama dan sektor riil sebagai tujuan akhir.

Sejumlah Stimulus Diluncurkan, Efek ke Sektor Riil Masih Terbatas

Untuk mendukung transmisi kebijakan, BI mengurangi peran Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebagai alat serap dana, dengan nilai SRBI yang menyusut lebih dari Rp200 triliun sepanjang 2025.

Selain itu, BI membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder dan melalui skema debt switching, dengan total pembelian mencapai Rp327,45 triliun hingga pertengahan Desember.

Melalui pelonggaran Giro Wajib Minimum (GWM), insentif Kredit Likuiditas Makroprudensial (KLM) ditingkatkan, menghasilkan total KLM sebesar Rp388,1 triliun hingga 16 Desember 2025.

Dukungan likuiditas juga datang dari pemerintah lewat penempatan Saldo Anggaran Lebih (SAL) di bank BUMN senilai Rp200 triliun sejak September.

Untuk menekan biaya dana di sektor perbankan, BI memangkas suku bunga deposit facility sebesar 50 basis poin pada September, kini di level 3,75 persen.

Namun, meskipun likuiditas di sektor keuangan membaik, transmisi ke sektor riil belum sesuai harapan.

Bunga deposito satu bulan telah turun 67 basis poin, namun bunga kredit baru turun 24 basis poin, mencerminkan lambatnya penyesuaian biaya kredit.

BI mengidentifikasi beberapa hambatan penurunan bunga kredit, seperti special rate bagi deposan besar dan biaya dana (cost of fund) yang masih tinggi.

Permintaan Kredit Masih Lemah, Daya Dorong Fiskal Diperlukan

Hingga November 2025, pertumbuhan kredit tercatat sekitar 7 persen secara tahunan (year-on-year), naik dari bulan sebelumnya namun masih lebih rendah dibandingkan 10 persen pada periode sama tahun lalu.

Dari sisi permintaan, banyak pelaku usaha masih bersikap wait and see, tercermin dari besarnya nilai pinjaman yang belum dicairkan (undisbursed loan) sebesar Rp2.509,4 triliun atau 23,18 persen dari plafon kredit.

Di sisi penawaran, perbankan memiliki likuiditas yang memadai dengan rasio alat likuid terhadap DPK (AL/DPK) mencapai 29,67 persen dan pertumbuhan DPK di atas 12 persen.

Kondisi ini menunjukkan bahwa kebijakan moneter tidak cukup berjalan sendiri, dan sinergi dengan kebijakan fiskal menjadi krusial, khususnya melalui percepatan belanja pemerintah untuk mendorong konsumsi dan investasi.

BI tetap optimistis kredit akan tumbuh sekitar 8 persen pada akhir 2025 dan meningkat pada 2026 seiring dengan perbaikan ekonomi.

Proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2025 berada pada kisaran 4,7–5,5 persen, dengan peluang pertumbuhan yang lebih tinggi di tahun-tahun mendatang.

Namun, BI menekankan bahwa ambisi pertumbuhan harus diiringi kehati-hatian, menjaga kepercayaan pasar, serta memastikan stabilitas nilai tukar dan inflasi tetap terjaga.

Moneter sudah longgar, pintu likuiditas sudah dibuka. tantangan ke depan adalah memastikan alirannya sampai ke sektor riil agar ekonomi dapat tumbuh subur.

Penulis :
Gerry Eka