
Pantau.com - Institute for Development of Economics and Finance menyarankan agar pemerintah perlu mengoptimalisasi sektor industri agar dapat menjadi penopang dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,3 persen pada 2020.
“Bisa 5,3 persen kalau industri tumbuh di atas 5,5 persen,” kata Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho di Jakarta, Kamis (6/2/2020).
Andry menuturkan selain sektor industri yang perlu tumbuh setidaknya 5,5 persen, peningkatan perdagangan dan pertanian juga dibutuhkan untuk semakin menunjang perekonomian Indonesia lebih baik pada tahun ini.
“Tanpa ada pertumbuhan industri di atas itu, sulit raih perekonomian 5,3 persen. Di sektor perdagangan dan pertanian juga perlu ada peningkatan pertumbuhan,” ujarnya.
Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 5,02 persen Sepanjang 2019, Jokowi Bersyukur
Ia menegaskan jika sektor industri beserta berbagai sektor lainnya tidak dapat mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi, maka perekonomian Indonesia untuk 2020 hanya akan mencapai 4,8 persen.
“Indef prediksi perekonomian 2020 4,8 persen dengan asumsi tidak ada upaya signifikan terhadap peningkatan pertumbuhan di industri,” katanya.
Sementara itu Peneliti Indef Abdul Manap Pulungan menyebutkan sektor industri merupakan penunjang utama dalam perekonomian di tengah berbagai kondisi ketidakpastian global, seperti perang dagang, Virus Corona, dan sebagainya. “5,3 persen tidak realistis untuk 2020 karena kondisi global tertekan, terutama performa China turun akibat menyebarnya Virus Korona,” katanya.
Abdul mengatakan industri pengolahan berkontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sehingga jika terdapat penurunan pada sektor itu, maka untuk mendorong peningkatan PDB akan sulit.
Hal tersebut berkaitan dengan peningkatan sektor industri yang nantinya juga mampu menyerap banyak tenaga kerja sehingga porsi konsumsi akan turut tumbuh, penerimaan pajak meningkat, dan utang berkurang.
“Kalau industri tidak bisa serap tenaga kerja maka porsi konsumsi akan melemah, penerimaan pajak turun yang artinya shortfall meningkat dan utang bisa meningkat,” katanya.
Baca juga: Mantap! Ekonomi Global Tertekan, Pertumbuhan Indonesia di Atas India
Di sisi lain, menurut Abdul, Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law yang sedang dirancang oleh pemerintah nantinya tidak akan langsung mampu menyerap investor secara maksimal ketika telah diimplementasikan. “Investor tidak akan langsung ke sini, karena regulasi kita terus berubah. Di pusat cepat sedangkan daerah sangat lama dan belum optimal walaupun Omnibus Law ingin sederhanakan proses investasi,” jelasnya.
Tak hanya itu, pemerintah juga harus tetap menjaga konsumsi rumah tangga dengan mengetahui berbagai momentum yang menjadi penunjang utama seperti Lebaran, Natal, dan Tahun Baru.
“Sekarang apakah momentum bisa dimanfaatkan atau tidak karena di puasa dan Lebaran walaupun konsumsi tinggi tapi sudah ada kenaikan harga terlebih dahulu,” ujarnya.
Abdul menambahkan pemerintah juga harus bisa melakukan stimulus terhadap kebijakan fiskal melalui pengalihan belanja yang lebih produktif. “Belanja modal harus ditingkatkan karena kontribusi ke penyerapan tenaga kerja lewat proyek infrastruktur, dibandingkan belanja sosial yang sekali dikasih habis uangnya,” tukasnya.
- Penulis :
- Tatang Adhiwidharta