billboard mobile
Pantau Flash
HOME  ⁄  Geopolitik

Korea Selatan Incar Kendali Militer Masa Perang dari AS, Presiden Lee Dorong Diplomasi Baru dan Rekonsiliasi Korut

Oleh Ahmad Yusuf
SHARE   :

Korea Selatan Incar Kendali Militer Masa Perang dari AS, Presiden Lee Dorong Diplomasi Baru dan Rekonsiliasi Korut
Foto: (Sumber: Presiden Korea Selatan Lee Jae Myung. ANTARA/Anadolu/py/pri.)

Pantau - Pemerintahan Presiden Korea Selatan Lee Jae Myung menargetkan pengambilalihan kendali operasional militer masa perang (Operational Control Authority/OPCON) dari Amerika Serikat sebagai bagian dari cetak biru peta jalan kebijakan lima tahun yang diumumkan Komite Perencanaan Urusan Negara.

Korea Selatan Siap Ambil Alih OPCON, Akhiri Ketergantungan Militer

Dalam dokumen rencana strategis tersebut, disebutkan bahwa pengambilalihan OPCON akan menjadi salah satu agenda utama selama masa jabatan Presiden Lee Jae Myung.

“Dengan melembagakan perdamaian dan koeksistensi, pemerintah akan berupaya mengubah apa yang disebut ‘risiko Semenanjung Korea’ menjadi ‘keunggulan Semenanjung Korea’,” demikian salah satu pernyataan dalam cetak biru tersebut.

Korea Selatan saat ini memegang kendali OPCON hanya pada masa damai, sementara dalam situasi perang, komando dialihkan ke Komando Pasukan Gabungan yang dipimpin Amerika Serikat.

Lebih dari 28.500 tentara AS masih ditempatkan di Semenanjung Korea, mencerminkan eratnya aliansi militer kedua negara sejak Perang Korea.

Menteri Pertahanan Korea Selatan, Ahn Gyu-back, menekankan bahwa pengambilalihan OPCON akan memerlukan dialog intensif dengan Amerika Serikat sebelum diterapkan sepenuhnya.

Meski peta jalan ini belum menjadi kebijakan final dan masih menunggu peninjauan kabinet, arah kebijakan tersebut menandai perubahan besar dalam strategi pertahanan Korea Selatan di bawah kepemimpinan Presiden Lee.

Lee sendiri terpilih dalam pemilu presiden mendadak Juni lalu setelah pendahulunya, Yoon Suk Yeol, dimakzulkan akibat upaya gagal memberlakukan darurat militer pada Desember.

Rekonsiliasi dengan Korea Utara dan Diplomasi Baru Jadi Fokus

Selain penguatan militer, pemerintah Lee juga menegaskan komitmen untuk “menormalkan” hubungan dengan Korea Utara melalui pendekatan rekonsiliasi dan kerja sama lintas batas.

Setelah resmi menjabat, Lee langsung melarang pengiriman selebaran anti-Pyongyang dan membongkar infrastruktur siaran propaganda di perbatasan.

Langkah ini disambut Korea Utara dengan respons serupa, termasuk penghentian siaran propaganda, pencopotan pengeras suara, dan penghentian penerbangan balon berisi sampah ke wilayah selatan.

Sebagian latihan gabungan dengan AS juga ditunda oleh pemerintah sebagai isyarat untuk meredakan ketegangan.

Seoul kini mengedepankan diplomasi pragmatis sebagai instrumen untuk memperkuat posisi Korea Selatan di panggung global, menargetkan status kekuatan diplomatik setara “G7 plus”.

Dalam aspek pertahanan, Lee berkomitmen membangun militer elite yang mampu menangkal berbagai ancaman dari Korea Utara, mulai dari senjata nuklir, misil, hingga serangan siber.

Lawatan ke Jepang dan AS, Reformasi Hukum Skala Besar Disiapkan

Presiden Lee dijadwalkan mengunjungi Jepang pada 23–24 Agustus untuk bertemu Perdana Menteri Shigeru Ishiba, sebelum terbang ke Amerika Serikat untuk pertemuan puncak pertamanya dengan Presiden Donald Trump.

Kunjungan ke Jepang sebelum ke AS menjadi yang pertama kali dilakukan oleh seorang presiden Korea Selatan, mencerminkan pendekatan regional yang lebih seimbang.

Untuk mewujudkan seluruh target dalam peta jalan tersebut, pemerintahan Lee diperkirakan harus mengubah sedikitnya 951 undang-undang dan peraturan, serta menyiapkan anggaran sekitar 152 miliar dolar AS atau sekitar Rp2.447,9 triliun hingga tahun 2030.

Penulis :
Ahmad Yusuf
Editor :
Ahmad Yusuf