Pantau Flash
HOME  ⁄  Geopolitik

Sastra BRICS dan Perlawanan Halus terhadap Hegemoni Kultural Barat

Oleh Ahmad Yusuf
SHARE   :

Sastra BRICS dan Perlawanan Halus terhadap Hegemoni Kultural Barat
Foto: (Sumber: Logo kelompok kemitraan strategis BRICS. (ANTARA/https://infobrics.org))

Pantau - Sastra kini menjadi senjata lunak dalam pertarungan antarnegara di panggung global, terutama bagi negara-negara BRICS yang berupaya merebut dominasi narasi dunia dari cengkeraman hegemoni kultural Barat.

Diplomasi Sastra dan Dekolonisasi Makna dari Global Selatan

Dalam lanskap simbolik global, pertarungan antarbangsa tak lagi terjadi lewat peluru, melainkan paragraf — melalui buku, puisi, dan naskah yang membentuk kesadaran dunia.

Penghargaan sastra BRICS bukan sekadar seremoni, melainkan deklarasi kultural yang menantang dominasi narasi global yang selama berabad-abad dikendalikan dari kota-kota seperti London, Paris, dan New York.

Selama ini, negara-negara Selatan lebih sering menjadi latar cerita ketimbang tokoh utama dalam representasi dunia.

Kini, melalui penghargaan sastra BRICS, penulis dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan, hingga Indonesia diberi panggung untuk menulis dunia dari arah Selatan.

Gagasan ini sejalan dengan teori hegemoni kultural Antonio Gramsci, yang menyatakan bahwa kekuasaan tak hanya bekerja melalui kekuatan militer atau ekonomi, tetapi juga melalui penguasaan atas kesadaran, nilai, dan makna.

Barat mempertahankan kekuasaannya melalui produksi simbolik — sastra, film, dan media — yang membentuk persepsi bahwa modernitas, kemajuan, dan rasionalitas adalah milik mereka.

Sebagai respons, negara-negara BRICS memperjuangkan kebebasan simbolik melalui diplomasi sastra, merebut bukan hanya pasar global, tetapi juga ruang narasi.

Mereka ingin menunjukkan bahwa nilai kemanusiaan, kebijaksanaan, dan kemajuan juga tumbuh dari Selatan.

Para penulis Global South memanfaatkan bahasa sebagai alat perlawanan, cerita sebagai bentuk diplomasi, dan imajinasi sebagai ruang negosiasi global.

Kebangkitan sastra dari negara-negara Selatan merupakan bagian dari gelombang dekolonisasi makna.

Jika dulu sumber daya alam direbut kembali, kini nilai dan narasi pun mulai dimerdekakan.

Negara-negara BRICS menyadari bahwa kekuatan sejati bukan hanya pada cadangan devisa atau senjata, tetapi pada kemampuan menciptakan narasi yang dipercaya dunia.

Mereka ingin dunia percaya bahwa Selatan juga mampu memimpin arah sejarah, bukan hanya mengikutinya.

Sastra sebagai Alat Politik yang Senyap

Sejak masa kolonial hingga pascakolonial, sastra telah menjadi ruang legitimasi sekaligus ruang perlawanan.

Jika Barat menggambarkan Selatan dengan cara yang merendahkan, penulis dari Selatan membalas dengan cara menertawakan, mendekonstruksi, dan menyuarakan suara-suara yang lama dibungkam.

Di setiap cerita, terselip ideologi.

Dalam setiap kalimat, tersembunyi bentuk perlawanan halus.

Inilah kekuatan sastra sebagai alat politik yang senyap.

Hingga kini, penghargaan sastra paling prestisius masih didominasi lembaga-lembaga Barat seperti Nobel, Booker, dan Pulitzer.

Standar estetika yang digunakan masih berpihak pada nilai-nilai Eropa.

Bahasa dan gagasan dari Selatan sering kali hanya dilihat sebagai eksotisme, bukan sebagai pusat makna.

Tema-tema seperti kemiskinan atau spiritualitas dari Selatan dipuji selama tidak mengganggu struktur berpikir dominan.

Namun, negara-negara BRICS ingin membalik pandangan tersebut: bahwa estetika tidak tunggal, dan keindahan tidak harus lahir dari Eropa.

Penulis :
Ahmad Yusuf