
Pantau - No Other Choice menghadirkan kisah tragis sekaligus gelap tentang seorang pria paruh baya, Man-su (Lee Byung Hun), yang tiba-tiba dipecat dari pekerjaannya setelah puluhan tahun mengabdi, tanpa peringatan dan tanpa rasa hormat sedikit pun.
Selama ini, Man-su merasa hidupnya sempurna—memiliki istri yang suportif, dua anak yang manis, dua anjing lucu, rumah mewah, serta pekerjaan yang membuatnya dihargai.
Rasa bangga Man-su mencapai puncaknya ketika ia menerima satu set daging mahal dari perusahaan tempatnya bekerja selama 25 tahun.
"Aku merasa punya segalanya," ungkap Man-su dengan yakin.
Namun tanpa disadari, hadiah tersebut ternyata bukan bentuk apresiasi, melainkan ucapan perpisahan karena ia dipecat.
Pemecatan itu datang begitu saja, dibungkus kalimat dingin para bos baru: "Tak ada pilihan lain."
Dari Kebanggaan Menjadi Kekacauan
Pemecatan tersebut menghantam Man-su seperti vonis hukuman mati.
Ia kemudian menjalani sesi terapi bersama para pengangguran lain, berusaha tetap positif dan berharap mendapat pekerjaan baru dalam tiga bulan.
Istrinya, Miri (Son Ye Jin), yang sebelumnya tampil modis, kini tampak kuyu karena tekanan hidup yang semakin berat.
Rumah mereka terancam disita, aktivitas seperti tenis dan dansa dihentikan, langganan streaming diputus, dan makanan sehari-hari jadi jauh lebih sederhana.
Anak-anak mereka pun terkejut dengan perubahan ini.
Miri kemudian mengambil pekerjaan paruh waktu di klinik gigi demi membantu keuangan keluarga.
"Barangkali Miri adalah satu-satunya orang yang punya akal sehat," ucap seseorang dalam film.
Sementara itu, Man-su mulai melamar pekerjaan serabutan dan fokus untuk masuk ke perusahaan kertas bernama Moon Paper.
Ia menganggap dirinya kandidat paling cocok karena memiliki pengalaman puluhan tahun di industri tersebut.
Namun kenyataan berkata lain—persaingan ketat dan banyaknya kandidat muda yang juga berpengalaman membuat peluang Man-su semakin kecil.
Keputusan Ekstrem di Tengah Tekanan
Dalam tekanan yang makin menggila, muncul ide gila di benak Man-su: menyingkirkan semua pesaingnya secara fisik agar ia jadi satu-satunya kandidat tersisa.
Inilah “the power of kepepet” yang menggerakkan cerita menuju wilayah yang lebih gelap.
Alih-alih mencari peluang baru, Man-su tetap terobsesi dengan industri kertas yang ia cintai.
Namun bukan hanya dia yang mencintai dunia ini.
Pesaingnya, seperti Bummo (Lee Sung Min), juga sama putus asanya.
Bummo digambarkan sebagai sosok yang depresi, sering mabuk, dan membuat istrinya, Ara (Yeom Hye Ran), jengkel karena sudah sangat berbeda dari sosok pria yang dulu ia cintai.
Ara, seorang aktris teater, membawa dinamika segar lewat kontras kepribadiannya dengan Bummo.
Sementara itu, Sijo (Cha Seung Won), pesaing lainnya, harus bekerja di toko sepatu untuk menghidupi putrinya.
Meski hanya mengandalkan komisi, ia tetap bekerja keras tanpa keluhan.
Ketulusan dan keteguhan hati Sijo mengingatkan pada karakter Cha Seung Won di serial Our Blues.
Man-su sebenarnya bersimpati terhadap kehidupan para pesaingnya, tapi tetap merasa bahwa hidupnya paling menyedihkan.
Ia bahkan mencoba “menciptakan” lowongan kerja sendiri dengan mendatangi manajer lini Moon Paper, Sun-chul (Park Hee Soon), yang sebelumnya mempermalukannya.
Namun, ketika akal sehatnya nyaris hilang, Man-su tidak langsung berubah menjadi pembunuh berdarah dingin.
Ia tetap digambarkan sebagai sosok yang realistis, tetapi nekat karena merasa seluruh jalan sudah tertutup.
Aksi konyolnya, termasuk saat bertarung secara kacau dengan Bummo dan Ara, justru mengundang tawa getir.
Akting Kuat dan Visual Khas Park Chan-wook
Lee Byung Hun tampil luar biasa sebagai pria canggung yang kehilangan pegangan hidup, jauh berbeda dari perannya sebagai “Front Man” di Squid Game maupun sebagai tentara karismatik di Mr. Sunshine.
Son Ye Jin juga meyakinkan sebagai Miri, pilar keluarga yang berusaha tetap waras di tengah runtuhnya segalanya.
Para pemeran pendukung tampil kuat, dan wajah-wajah mereka akan terasa familiar bagi penggemar drama Korea.
Visual film ini tetap menampilkan sentuhan khas sutradara Park Chan-wook, dengan wide shot yang indah, statis, dan penuh makna.
Nuansa visualnya mengingatkan pada Decision to Leave, namun dengan pendekatan yang lebih gelap dan menekan.
Adaptasi Relevan dari Novel Klasik
No Other Choice diadaptasi dari novel The Ax karya Donald E. Westlake.
Sebelum diadaptasi oleh Park Chan-wook, novel ini sudah diangkat menjadi film The Axe oleh Costa-Gavras pada 2005.
Meski berlatar novel tahun 1997 saat dunia belum didominasi digitalisasi, film ini menggeser latarnya ke masa kini, menjadikan pemecatan Man-su lebih logis dalam konteks disrupsi teknologi yang menghilangkan banyak jenis pekerjaan, termasuk di industri kertas.
Kekhawatiran Man-su tetap relevan hingga sekarang.
Sutradara Park Chan-wook bahkan mengakui ia pernah mengalami hal serupa sebagai sineas.
Setelah menyelesaikan sebuah proyek, tak selalu ada jaminan proyek berikutnya langsung datang.
Kadang, ia harus menunggu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
Kisah yang Dekat dengan Penonton Indonesia
Isu pengangguran dan tekanan sosial dalam film ini sangat relevan bagi penonton Indonesia, terutama mereka yang pernah mengalami kehilangan pekerjaan atau sulit mencari penghasilan baru di tengah usia yang terus bertambah.
No Other Choice adalah kisah tentang kehilangan, obsesi, dan bagaimana keterdesakan bisa mengubah manusia menjadi sosok yang bahkan tak dikenalnya sendiri.
- Penulis :
- Aditya Yohan