Pantau Flash
HOME  ⁄  Hukum

Kritik Ucapan Luhut soal OTT KPK, BW: Omdo dan Asal Jeplak!

Oleh Aditya Andreas
SHARE   :

Kritik Ucapan Luhut soal OTT KPK, BW: Omdo dan Asal Jeplak!
Pantau - Mantan pimpinan KPK Bambang Widjojanto (BW) mengkritik pernyataan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan yang menyebut operasi tangkap tangan (OTT) KPK tak bagus.

BW menyebut pernyataan tersebut salah kaprah. Ia mengatakan, seharusnya yang dihilangkan adalah pejabat korupsinya, bukan OTT-nya.

"Pertama, ada salah kaprah dalam pernyataan itu. OTT adalah strategi untuk mengatasi korupsi, karena ada pejabat yang korup. Kalau tidak ingin ada OTT, pejabat korupnya itu yang ditiadakan," kata BW melalui akun YouTube Bambang Widjojanto, Sabtu (24/12/2022).

"Sumber masalah yang menjadi pejabat korup itu, itu yang dikendalikan. Jadi bukan OTT-nya. Karena kalau kemudian kita menyasar OTT-nya, itu sama sekali salah kaprah, itu sangat salah kaprah," sambungnya.

BW menilai, pernyataan Luhut sebagai pimpinan pemerintah itu sangat tidak bijak karena dapat dinilai permisif. Ia bahkan menyebut ucapan Luhut itu hanya asal jeplak.

"Kedua, pernyataan ini adalah tone of the top. Kami khawatir sekali dia tidak memahami secara utuh strategi pemberantasan korupsi yang terintegrasi, sistematik, sehingga terkesan, mohon maaf, ini omdo (omong doang) dan asal jeplak saja," ujarnya.

Selanjutnya, BW berpandangan pernyataan Luhut ini bermaksud ingin menunjukkan bahwa digitalisasi bisa mencegah korupsi sepenuhnya. Padahal, dalam kenyataannya tidak efektif.

"Pengalaman di KPK justru menunjukkan hal yang lain. Kita tahu ketika pengadaan barang menggunakan sistem e-catalog, ternyata para koruptor masih bisa menyiasati, bagaimana melakukan korupsi di dalam proses itu," katanya.

Lebih lanjut, ia berpendapat, pernyataan itu justru meneror institusi KPK. Sebab, menurutnya, OTT itu merupakan pencegahan korupsi paling keras.

"Karena tindak pidana korupsi itu adalah extraordinary crime, dan di dalam bagian pendahuluan atau penjelasan umum UU tindak pidana korupsi itu pendekatannya memang harus melalui pendekatan yang disebut dengan premium remedium, bukan ultimum remedium," tandasnya.
Penulis :
Aditya Andreas