
Pantau - Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menjatuhkan vonis mati kepada Ferdy Sambo atas kasus pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Namun, majelis hakim tidak secara gamblang menjelaskan apa motif dari kasus tersebut.
Ketua majelis hakim PN Jaksel, Wahyu Iman Santoso menyatakan, tidak ada bukti adanya pelecehan seksual terhadap Putri Chandrawati seperti yang dituduhkan menjadi motif Ferdy Sambo menghabisi nyawa Yosua.
"Motif adanya kekerasan seksual yang dilakukan oleh korban Nofriansyah Yosua Hutabarat terhadap Putri Candrawathi tidak dapat dibuktikan menurut hukum," ucap hakim Wahyu saat membacakan pertimbangan perkara, Senin (13/2/2023).
Menurut hakim, motif pembunuhan tersebut lebih karena ada perasaan sakit hati Putri terhadap perbuatan atau sikap Yosua.
"Sehingga motif yang lebih tepat menurut majelis hakim adanya perbuatan atau sikap korban Nofriansyah Yosua Hutabarat, di mana perbuatan atau sikap korban tersebut yang menimbulkan perasaan sakit hati yang begitu mendalam terhadap Putri Candrawathi," kata hakim Wahyu.
Dalam persidangan, majelis hakim mengungkapkan, tidak ada bukti valid mengenai pelecehan atau kekerasan seksual yang dilakukan Yosua terhadap Putri.
Relasi kuasa menjadi pertimbangan hakim dalam perkara ini. Hakim mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum.
Dalam kondisi ini, menurut hakim, Putri memiliki posisi dominan dibandingkan Yosua karena merupakan istri dari seorang jenderal polisi bintang dua dan berlatar belakang pendidikan dokter.
Sementara, Yosua hanya lulusan SLTA dan berpangkat Brigadir yang ditugaskan sebagai ajudan Sambo untuk membantu Putri baik sebagai sopir maupun tugas lain.
Hakim juga menilai, tidak ada fakta yang mendukung Putri mengalami gangguan stres pasca-trauma atau post traumatic stress disorder akibat pelecehan seksual atau pemerkosaan.
Hakim juga menyoroti proses pemulihan korban pelecehan atau kekerasan seksual yang seharusnya butuh waktu lama. Tindakan Putri bertemu dengan Yosua sesaat setelah pengakuan kekerasan seksual terjadi menurut hakim tidak masuk akal.
"Bahwa dari pengertian gangguan stres pasca-trauma atau post traumatic stress disorder dan tahapan proses pemulihan korban kekerasan seksual di atas, perilaku Putri yang mengaku sebagai korban justru bertentangan dengan profil korban menuju pemulihan," pungkas hakim.
Namun, majelis hakim tidak secara gamblang menjelaskan apa motif dari kasus tersebut.
Ketua majelis hakim PN Jaksel, Wahyu Iman Santoso menyatakan, tidak ada bukti adanya pelecehan seksual terhadap Putri Chandrawati seperti yang dituduhkan menjadi motif Ferdy Sambo menghabisi nyawa Yosua.
"Motif adanya kekerasan seksual yang dilakukan oleh korban Nofriansyah Yosua Hutabarat terhadap Putri Candrawathi tidak dapat dibuktikan menurut hukum," ucap hakim Wahyu saat membacakan pertimbangan perkara, Senin (13/2/2023).
Menurut hakim, motif pembunuhan tersebut lebih karena ada perasaan sakit hati Putri terhadap perbuatan atau sikap Yosua.
"Sehingga motif yang lebih tepat menurut majelis hakim adanya perbuatan atau sikap korban Nofriansyah Yosua Hutabarat, di mana perbuatan atau sikap korban tersebut yang menimbulkan perasaan sakit hati yang begitu mendalam terhadap Putri Candrawathi," kata hakim Wahyu.
Dalam persidangan, majelis hakim mengungkapkan, tidak ada bukti valid mengenai pelecehan atau kekerasan seksual yang dilakukan Yosua terhadap Putri.
Relasi kuasa menjadi pertimbangan hakim dalam perkara ini. Hakim mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum.
Dalam kondisi ini, menurut hakim, Putri memiliki posisi dominan dibandingkan Yosua karena merupakan istri dari seorang jenderal polisi bintang dua dan berlatar belakang pendidikan dokter.
Sementara, Yosua hanya lulusan SLTA dan berpangkat Brigadir yang ditugaskan sebagai ajudan Sambo untuk membantu Putri baik sebagai sopir maupun tugas lain.
Hakim juga menilai, tidak ada fakta yang mendukung Putri mengalami gangguan stres pasca-trauma atau post traumatic stress disorder akibat pelecehan seksual atau pemerkosaan.
Hakim juga menyoroti proses pemulihan korban pelecehan atau kekerasan seksual yang seharusnya butuh waktu lama. Tindakan Putri bertemu dengan Yosua sesaat setelah pengakuan kekerasan seksual terjadi menurut hakim tidak masuk akal.
"Bahwa dari pengertian gangguan stres pasca-trauma atau post traumatic stress disorder dan tahapan proses pemulihan korban kekerasan seksual di atas, perilaku Putri yang mengaku sebagai korban justru bertentangan dengan profil korban menuju pemulihan," pungkas hakim.
#PN Jaksel#Pembunuhan Berencana#Ferdy Sambo#Majelis Hakim#Putri Chandrawati#Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat
- Penulis :
- Aditya Andreas