
Pantau - Bekas Kepala Desa (Kades) Lontar, Kabupaten Serang, Banten, Alkani mengharapkan hanya menjalani hukuman 1 tahun penjara, alias lebih ringan dari tuntutan jaksa 6 tahun bui.
"Kami memohon kepada Majelis Hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 1 tahun dan denda Rp 50 juta subsider 1 bulan," kata kuasa hukum Aklani, Tenggar Nur Addin, saat membacakan pleidoi di Pengadilan Tipikor Serang, Banten, Senin (20/11/2023).
Alkani melalui pengacaranya juga telah mengembalikan Rp198 juta ke warga Desa Lontas. Tenggar juga mengklaim tak pernah dipidana sebelumnya.
"Alasan saya sebelumnya saya pribadi mohon maaf kepada Yang Mulia, jaksa. Saya menyadari perbuatan saya melanggar hukum serta kezaliman saya. Saya minta hukuman saya seringan-ringannya karena beban anak saya biaya sekolah, saya tidak mau beban gara-gara pribadi saya melanggar hukum mereka kena imbasnya. Saya punya tanggungan anak yatim piatu," tuturnya.
Hakim kemudian bertanya ke terdakwa Alkani terkait permintaan hukuman 1 tahun penjara. Lalu Alkani pun menjawab hukuman 2 tahun juga pantas.
"Kamu yang ngukur, yang pantas berapa, banyak toh kawan-kawanmu di sel," ujar hakim.
"Dua tahun juga pantas, Yang Mulia," kata Aklani.
Dituntut 6 Tahun Penjara
Terdakwa Aklani, eks Kades Lontar di Kabupaten Serang menggunakan dana desa hingga satu miliar untuk foya-foya karaoke dan sawer LC. Hal itu membuat Aklani dituntut 6 tahun penjara.
JPU Subadri dalam tuntutannya mengatakan, terdakwa Aklani dinilai terbukti bersalah melakukan korupsi dana desa tahun 2020. Ia dinilai bersalah sebagaimana Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Tindak Pidana Korupsi.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Aklani berupa pidana penjara selama 6 tahun dan denda RP 250 juta subsider 3 bulan kurungan," kata Subardi dalam tuntutannya yang dibacakan di Pengadilan Tipikor Serang, Senin malam (13/11/2023).
Ia juga dituntut dengan pidana tambahan berupa uang pengganti Rp 988 juta lebih. Nilai itu dikurangi Rp 198 juta dari hasil pengembalian kerugian negara dari saksi Mumu Muhidin dan telah disetorkan ke kas desa.
Dengan ketentuan jika terdakwa Aklani tidak mengembalikan atau membayar sisanya, maka harta benda disita. Jika tidak mencukup, uang pengganti kerugian negara itu dibebankan dengan pidana bui selama 3 tahun dan 3 bulan ke Aklani.
Subardi mengatakan, terdakwa Aklani telah melakukan korupsi dana desa yang berasal dari dana bagi hasil pajak dan bantuan keuangan. Uang yang dikorupsi adalah Rp 988 juta yang mestinya diperuntukan untuk kegiatan pembangunan fisik dan non fisik.
Uang di kas desa juga katanya ditarik oleh terdakwa dengan mekanisme yang tidak benar. Uang malah dikirim ke rekening pribadi dan rekening istrinya yang dikuasai terdakwa. Selain itu, ada beberapa proyek pembangunan fisik dan non fisik yang dikorupsi terdakwa.
Kegiatan yang tidak dilaksanakan antara lain pembangunan rabat beton di RT 03-04 RW 01 Rp 71 juta, rabat beton di Rt 19 RW 05 Rp 213 juta, rabat beton di RT 002 RW 05 yang belum selesai dan pembangunan gapura yang belum selesai.
Kemudian, kegiatan non fisik yaitu pelatihan service handphone Rp 43 juta, tunjangan staf desa Rp 27 juta, bantuan sembako dalam kegiatan COVID-19 Rp 50 juta. Ada juga kata jaksa pajak yang tidak disetorkan Rp 8 juta lebih, kegiatan fiktif Rp 47 juta dan selisih saldo kas desa tahun 2020 Rp 562 juta.
"Penghitungan kerugian negara dari Inspektorat Serang tersebut menjadi Rp 988 juta. Terdiri dari penghitungan kegiatan fisik, pelatihan service handphone, tanggap darurat COVID, kwitansi fiktif, pajak dan selisih saldo desa tahun 2020," ujarnya.
Aklani sendiri mengakui bahwa dana desa yang ia korupsi untuk karaoke dan hiburan malam. Dia mengaku bersenang-senang dengan stafnya menggunakan dana desa.
- Penulis :
- Khalied Malvino