
Pantau - Kepala Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, Volker Turk mengkritik keras sikap Israel mengusir warga di Rafah timur, Gaza, Palestina, jelang operasi 'terbatas' ke kota tersebut. Turk malah menyebut, instruksi Israel yang mengusir warga Palestina sebagai tindakan yang 'tak manusiawi'.
Turk mentuurkan, pemaksaan pengusiran ratusan ribu warga mengungsi ke sejumlah daerah yang nyaris tak ada akses bantuan untuk bertahan hidup merupakan hal yang 'tak bisa dibayangkan'.
Turk juga memperingatkan, serangan Israel ini bakal semakin banyak warga Palestina menderita, bahkan tingkat kehancuran yang 'tak tertahankan'.
"Warga Gaza terus dilanda bom, penyakit, dan bahkan kelaparan," kata komisaris tinggi hak asasi manusia PBB tersebut dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir kantor berita AFP, Selasa (7/5/2024).
"Dan hari ini, mereka diberitahu bahwa mereka harus direlokasi lagi seiring dengan meningkatnya operasi militer Israel di Rafah," imbuhnya.
"Ini tidak manusiawi. Ini bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar undang-undang kemanusiaan dan hak asasi manusia internasional, yang menjadikan perlindungan efektif terhadap warga sipil sebagai perhatian utama mereka," cetus Turk.
Turk mengungkapkan, 'kematian, penderitaan dan kehancuran warga sipil diperkirakan akan meningkat melampaui tingkat yang sudah tidak tertahankan lagi'.
Israel Usir Paksa Warga Palestina di Rafah Timur
Warga Palestina yang menetap di wilayah Rafah bagian timur diusir tentara Israel. Perintah ini dikeluarkan menyusul ada operasi ‘terbatas’ di Gaza bagian selatan.
Melansir BBC, sekitar 100 ribu orang diarahkan menuju ke “wilayah kemanusiaan yang diperluas” di Khan Younis dan al-Mawasi. Setelah 7 bulan berperang, Israel menyatakan harus merebut Rafah untuk mengalahkan Hamas.
Namun PBB dan AS memperingatkan bahwa serangan terhadap kota tersebut, tempat lebih dari satu juta pengungsi Palestina berlindung, dapat menimbulkan konsekuensi bencana.
Serangan udara Israel di Rafah dilaporkan menewaskan sedikitnya 19 warga Palestina dalam semalam, buntut 3 tentara Israel tewas akibat tembakan roket Hamas di perbatasan Kerem Shalom yang dikuasai Israel – titik masuk utama bantuan ke Gaza.
Serangan-serangan itu terjadi ketika upaya terbaru untuk gencatan senjata baru dan kesepakatan pembebasan sandera terhenti, meskipun para mediator mengatakan mereka terus melanjutkan upaya mereka.
Dalam penjelasan awal kepada wartawan pada Senin pagi, juru bicara Pasukan Pertahanan Israel (IDF) Letkol Nadav Shoshani menekankan bahwa operasi yang direncanakan di Rafah adalah “cakupan terbatas”.
Dia mengatakan belum ada jangka waktu yang diumumkan dan evakuasi yang mempengaruhi sekitar 100.000 orang akan dilakukan secara bertahap.
Namun, hal itu tidak akan menghilangkan ketakutan penduduk setempat dan lebih dari 1 juta warga Palestina yang terlantar memadati kota paling selatan Gaza, karena serangan yang lebih luas akan terjadi.
Selama berbulan-bulan, Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu bersikeras bahwa kemenangan melawan Hamas tidak dapat dicapai tanpa serangan besar-besaran di sana. Israel mengatakan Rafah menampung 4 batalion Hamas yang tersisa – yang berjumlah ribuan pejuang.
Negara-negara Barat dan Arab, serta PBB, telah berulang kali memperingatkan agar tidak melakukan operasi darat besar-besaran di Rafah, karena kemungkinan besar akan jatuhnya korban sipil.
Para pejabat dari Israel dan sekutu terdekatnya, Amerika Serikat, telah mengadakan pertemuan untuk membahas rencana alternatif yang lebih terfokus. Tidak jelas apakah perintah evakuasi baru ini termasuk di dalamnya.
Perang di Gaza dimulai ketika para pejuang Hamas menyerbu Israel selatan pada tanggal 7 Oktober 2023, menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera 252 orang, menurut penghitungan Israel. Lebih dari 34.600 orang telah tewas di Gaza sejak saat itu, kata kementerian kesehatan yang dikelola Hamas.
- Penulis :
- Khalied Malvino